Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #10

Sekelumit Rencana

“Ke arah mana?” tanya Anita seraya meraih tangan Maya lalu berjalan bergandengan tangan.

Maya menunjuk langsung ke gerbang ke luar basement. Mereka pun berjalan.

Aku mengikutinya dari belakang. Kulihat Maya melirikku seolah memastikan aku mengikutinya. Ya, aku akan mengikutinya, tapi ….

Tapi terus terang, aku mulai berpikir, apakah aku masih layak mengikutinya? Maksudku, aku merasa masaku menolong Maya sudah kadaluarsa. Jelas sekali perempuan bernama Anita ini lebih mampu menolong Maya. Bagaimanapun dia yang menjadikan Maya seperti ini; punya visi yang lebih menyeluruh terhadap persoalan Maya. Sementara aku, hanya orang asing yang tanpa sengaja Maya temui dan kebetulan bersedia menolongnya. Ya, seharusnya aku tahu diri kalau aku akan menjadi beban mereka jika terus mengekor mereka. Tapi…, ada bagian dari diriku yang ingin menyaksikan perjalanan Maya ini sampai akhir.

Kami keluar dari basement menuju halaman Masjid Raya Bandung. Anita dan Maya masih berpegangan, dan mereka mengambil arah menghampiri pinggir jalan yang kulihat di sana berbaris bis kota. Langkah mereka dipercepat saat melihat sebuah bis terdepan hendak berangkat. Mereka berhasil menaiki bis itu, begitu pula aku.

Di dalam bis, mereka duduk berdampingan sementara aku berdiri. Kulihat kondektur bis menghampiri. Aku bayar ongkos untuk bertiga. Sempat sudut mataku menangkap tatapan Anita yang sepertinya hendak memprotes tapi tidak ia lanjutkan, dan mungkin akupun akan mengabaikannya.

Cukup lama kami naiki bis ini. Kami turun sekitar setengah jam setelah samar-samar aku dengar azan maghrib. Anita dan Maya tidak lagi berpegangan tangan. Anita arahkan langkah kami memasuki halaman sebuah penginapan sederhana.

“Dengar, Ian,” kata Anita tanpa berpaling kepadaku, “Aku dan Maya akan satu kamar—,”

“Ya, aku mengerti,” potong aku, “dan sebaiknya aku bayar sendiri.”

Dia tidak merespon. Tidak berkata atau berpaling kepadaku. Yang justru menatapku adalah Maya dan aku merespon tatapannya hanya dengan tersenyum. Yah, aku tidak terlalu bodoh untuk menangkap gelagat kalau perempuan bernama Anita itu berusaha menyingkirkan aku, dan aku yakin Maya juga tidak bodoh.

Halaman penginapan itu tidak luas, mungkin cukup untuk parkir dua mobil. Ada taman kecil tak terurus di samping pintu kaca. Kami masuki pintu itu. Aku biarkan mereka berdua menghampiri meja resepsionis lebih dulu. Kulihat seorang laki-laki beruban lebat dengan kaca mata tebal melihat kami. Anita langsung memesan satu kamar dengan dua tempat tidur untuk satu malam; dia bayar di muka. Aku pun melakukan hal yang sama.

Setelah aku mendapatkan kunci, lelaki beruban lebat itu menujukan arah ke koridor yang di kanan-kirinya berjejer pintu-pintu bernomor. Nomorku 104. Kulihat Anita dan Maya pun berjalan ke arah yang sama. Dan setelah mencapai pintu kamarku, ternyata kamar kami bersebelahan.

Aku masuk, tutup pintu dan menguncinya. Agak meraba-raba, aku raih saklar untuk menyalakan lampu. Dan ketika kulihat sebuah tempat tidur yang tertata rapi, ada getar aneh dalam dadaku yang mendorongku segera menghampirinya dan menjatuhkan diri di atas tempat tidur itu. Barulah aku sadar betapa lelahnya aku.

Sebenarnya aku ingin segera tidur, tapi belum waktunya. Aku belum salat maghrib. Aku bangkit, buka sepatu dan berjalan menghampiri pintu lain yang aku yakin merupakan pintu kamar mandi.

Wudhu dan salat.

Aku gunakan selimut hotel sebagai sajadah. Selesai salat maghrib, aku tidak langsung beranjak ke tempat tidur karena yakin waktu salat isya tinggal sebentar lagi. Dan memang sebentar kemudian sayup-sayup kudengar azan isya, hanya saja jeda yang sebentar itu cukup untuk benakku melirik jejak-jejakku hari ini dan memberi celah bagi Takut dan Ngeri menyelinap masuk.

Coba bayangakan saja! Beberapa jam yang lalu aku menyaksikan dua nyawa dipaksa meregang! Dan terlebih lagi, ada beberapa kesempatan yang memberi kemungkinan aku mengalami hal yang sama!

Takut dan Ngeri … hampir saja menguasaiku kalau saja aku tidak ingat Ayah pernah bilang, “Takut itu berasal dari ketidaktahuan, Ian. Ketidakmengertian. Kamu takut ular karena kamu tidak tahu bagaimana cara menangani ular, ya, kan? Yang pada akhirnya, kita semua takut mati karena tidak tahu dan tidak mengerti sejatinya mati.”

“Meski semuanya bakal mati.” Begitu responku kala itu, dan begitu pula saat di kamar hotel ini, aku mengulangnya.

Kutarik napas panjang. Duduk bersimpuh, lalu kubiarkan keluar dari mulutku rapalan dzikir dan doa, kubiarkan hatiku menggantung pada memori akan adanya Dzat yang Maha Tahu dan maha mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Oh Allah, jelas Engkau tahu apa yang sebenarnya terjadi, sementara hamba tidak tahu apa-apa …. Bimbing hamba, Ya Allah …. Lindungi hamba ….

Lalu sayup-sayup aku dengar azan Isya. Aku pun salat dan kemudian pergi tidur.

Aku tidak terlalu ingat apakah aku susah tidur atau tidak saat itu, tapi yang jelas aku tertidur.

***

“Ian ....”

Kudengar suara perempuan itu. Akupun tahu suara itu ingin aku bangun, tapi yang membuatku segera bangun adalah suara itu diikuti ketukan pintu.

“Ian?”

Kudengar suara Maya. Aku bangkit meski agak susah payah.

Lihat selengkapnya