Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #22

Menjebak Maya

"Kamu tahu? Aku cukup tahu bagaimana pikiran manusia bekerja, tapi kamu, Ivan, meski terprediksi, tapi harus aku akui kalau aku terkesan. Kamu punya aliran sinyal yang halus seperti semilir angin, namun menghunjam dan menerjang bak tornado! Membuatku penasaran apa ini yang membuat Babel memilih kamu?”  

Tom yang mengatakan itu, tapi aku tidak memperhatikan. Aku coba mengosongkan pikiranku—atau lebih tepatnya, menebar perhatianku sehingga tidak fokus pada sosok Tom ini, membuat sosok yang menyerupai Ayah ini insignificant, tidak penting, tidak relevan, hanya latar belakang yang tidak usah diperhatikan. Lalu ada saat perhatianku seolah mengambang, menjadikan apa yang aku lihat, aku dengar dan aku rasakan seperti mimpi kosong tak bermakna. 

Kemudian, ada saat perhatianku membuatku mengangkat tangan dan terbersit sebuah harap kalau kedua tanganku ini adalah sayap yang bisa membuatku terbang. Lalu tiba-tiba saja aku bisa rasakan tanganku ditumbuhi bulu-bulu. Tapi, secepat datangnya sensasi itu, secepat itu pula aku hilangkan dengan kembali fokus pada Tom. Aku tidak ingin Tom menyadari apa yang aku lakukan.  Lalu aku meletakkan kedua telapak tanganku ke wajah sambil berkata, “Kau akan membuatku membunuh Maya ….”

“Itulah idenya—well, sebenarnya itu idemu, Ivan,” jawab Tom sambil tersenyum.

“Kau tahu aku lebih memilih mati daripada membunuhnya!”

“Ya, aku tahu,” tanggap Tom sambil mengangkat bahu. Tidak peduli. “Tapi meskipun kamu gagal, atau mati dalam prosesnya. Ada banyak metode untuk melenyapkan Maya.”

“Tapi, kenapa? Kau juga tahu Maya hanya manusia, mahluk fana, yang pada dasarnya bakal mati! Tidak bisakah kau tunggu sampai Tuhan sendiri yang mencabut nyawanya?”

Dia mendengkuskan tawa sinis, “Lebih cepat, lebih baik, Ian. Aku punya agendaku sendiri.”

Kini giliranku yang mendengkuskan tawa sinis. “Kau mengkontradiksi dirimu sendiri, kau tahu itu? Kau bilang, kau abadi. Tentunya entiti yang abadi tidak akan terburu-buru … kecuali, kau tidak sepenuhnya abadi! Keabadianmu terganggu oleh Maya … yang punya sinyal seperti Babel—apapun maksudnya itu?! Apa yang dimaksud ‘sinyal’ itu gelombang otak yang dipancarkan setiap manusia?”

Tom tersenyum, “Kamu anak yang cerdas, kamu tahu itu?”

Aku tidak memedulikannya dan langsung melanjutkan pertanyaanku dengan, “Tapi bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu terganggu dengan sinyal Maya? Atau … sebenarnya sasaranmu adalah Babel, tapi terganggu oleh sinyal Maya karena sama persis dengan Babel? Kamu tidak bisa memburu Babel selama Maya ada?”

“Jika itu benar, apa yang akan kamu lakukan?”

“Tentu saja tidak ada! Aku terjebak di sini bersamamu! Tapi, setidaknya aku bisa mengerti … apa jika Babel tidak ada, kamu bisa mengendalikan seluruh manusia?”

Tom tertawa, “Itu ide yang bagus, tapi terlalu besar, bahkan bagi diriku sendiri!” 

Lalu kulihat tawanya berhenti, sorot matanya menerawang, memberiku semacam indikasi kalau apa yang hendak dia ucapkan selanjutnya adalah sebuah kejujuran. “Yang bisa aku lakukan hanya menstimulasi umat manusia untuk berkomunikasi melebihi bahasa, melewati bahasa, yang kemudian tidak ada lagi retorika, tidak ada lagi kebohongan. Pada akhirnya, batas negara akan hilang, bangsa akan membaur, budaya larut, dan kemudian yang tinggal hanya satu umat manusia!”

“Tapi di antara proses itu bakal ada banyak korban!”

Tom tersenyum, tapi ada elemen kesedihan dari senyum itu. “Tentu saja. Tidak semua orang akan sepaham. Selalu saja ada resistansi. Itulah mengapa akan ada perang besar, disukai atau tidak. Sebuah proses yang tidak bisa dielakkan. Itulah mengapa aku harus memastikan jadi pihak yang menang. Ya, `kan?”

Aku terdiam. Sempat terpikir untuk mengkontradiksi dia lagi dengan berkata, “Bukannya kamu tidak tertarik dengan bahasa?” Tapi tentu saja aku sendiri bisa menjawabnya kalau dia memang tidak tertarik dengan bahasa; dia hendak menghapusnya, dan membangun masyarakat tanpa benteng-benteng perbedaan bahasa dengan memanfaatkan sinyal Babel. Sebuah visi yang ambisius, tapi setelah melihat kemampuan yang ada dalam wewenangnya, dia memang serius! Dead serious!

“Sudahlah. Kamu perlu istirahat. Kamu perlu banyak tenaga untuk menerima segala rasa sakit yang sebentar lagi kamu dapatkan. Para bajingan itu sudah mendapatkanmu.”

Ruangan mendadak gelap. 

Lihat selengkapnya