Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #23

Melarikan Diri

“Kau pikir itu tindakan cerdas?” tanya Tom dingin.

Aku diam saja.

Tapi kemudian dia tersenyum sambil mengangkat dua tangannya, “Kau hanya menghambat sebuah keniscayaan, Ian. Kau sendiri bilang Maya akan mati … kau juga akan mati, ya, `kan? Apa kamu pikir di sini kamu tidak akan merasakan sakit? Coba lihat tanganmu.”

Aku mengangkat tangan dan melihatnya tiba-tiba terbakar dan terasa panas yang sangat. Aku coba berteriak untuk menahan sakit tapi tidak bisa. Lalu dengan cepat perasaan terbakar itu hilang seketika. 

“Harus aku akui kau memang istimewa. Agak mengesalkan, tapi istimewa.”

Tiba-tiba aku rasakan sensasi jatuh dan kulihat dasar jurang putih yang dengan cepat mendekat. Lalu aku rasakan sakit yang luar biasa, seolah seluruh tubuhku remuk redam. Kemudian kurasakan lagi sensasi jatuh, dan kembali menghantam dasar jurang. 

“Aku bisa membuatmu serasa dalam neraka, kau tahu itu?”

Sekali lagi aku rasakan sensasi jatuh tapi dengan tubuh terbakar, menuju dasar jurang yang juga terbakar. Citra neraka yang Tom bayangkan. 

Neraka….

Mendengar kata itu, terbangun sebuah kenangan di mana Ayah pernah berkata kalau sehebat apapun rasa sakit yang kita terima di dunia ini tak akan sebanding dengan apa yang Allah sediakan di neraka. Tidak ada yang bisa membayangkan betapa mengerikannya neraka! Maka….

“Tahu apa kau tentang neraka?” pekikku keras saat tubuhku menghantam dasar jurang berapi itu.

Sewaktu aku kecil, Ayah pernah menceritakan satu deskripsi tentang neraka; satu titik bara neraka yang menyentuh kaki kita, maka seketika otak kita mendidih! Jadi, dengan segala daya yang ada di alam dunia ini, siapa yang sanggup mengangkat deskripsi itu menjadi nyata selain Tuhan? Lebih dari itu, citra neraka yang Tom presentasikan hanya berada dalam otakku, tidak lebih! Tubuhku di alam nyata tidak mendapatkan apa-apa, meski di alam mimpi ini aku terjatuh, terbakar, tercabik-cabik!

Mendadak tubuhku terbebat rantai panas dan menggantung terbalik. 

“Oh, aku cukup tahu apa itu rasa sakit,” ucap Tom sambil mengayun-ayun tubuhku. “Aku cukup tahu bagaimana memberimu rasa sakit. Tapi itu hanya cara mencapai tujuan, Ian.”

Tiba-tiba aku lihat sebuah tampilan di hadapanku, semacam layar yang memperlihatkan sudut pandangku sendiri. Aku melihat tubuh bagian bawahku bergerak terseret-seret, seolah seseorang tengah menarik-narik tubuhku dari belakang. Sepertinya Maya yang melakukannya. Maya yang menarik tubuhku, hendak membawaku entah ke mana. Tapi, kalau aku bisa melihat tampilan ini, maka itu artinya mataku tengah terbuka, dan itu artinya … Ivan terbangun?

Kulihat dengan cepat dua tanganku bergerak dan tampilan berubah menjadi Maya yang tengah aku piting lengannya. Tapi secepat itu pula Maya melepaskan diri dengan melepas tendangan ke tulang kering kaki kananku, memiting jari kelingking dan mengayunkan lutut kiri ke mukaku. Tangan kiriku telah terangkat, menghalangi laju lutut itu, tapi tetap memaksaku melangkah mundur.

Sempat aku lihat Maya meraih taser gun-nya, tapi Ivan tidak akan membiarkan Maya menyengat lagi tubuhku. Ivan menerjang meski serampangan, tapi bisa mencegah Maya mengarahkan taser gun-nya dengan benar. Ivan ayunkan tinju, Maya merunduk. Sepertinya Maya tahu kalau serangan Ivan tadi serampangan dan itu seolah memberi tahunya kalau kuda-kuda Ivan tidaklah stabil, tapi Maya sepertinya salah perhitungan. Saat Maya menghindari tinju Ivan, Maya merunduk dan ia sapukan kaki kirinya untuk membuat Ivan terjatuh, tapi kaki Ivan tidak bergerak—kuda-kuda Ivan cukup kuat. Kegagalan Maya memberi Ivan kesempatan, Ivan tinju wajah Maya telak. Maya sempat terjengkang, namun Ivan tidak memberinya peluang. Ivan cengkram leher Maya dengan tangan kiri dan kembali meninju wajahnya dengan tangan kanan, berkali-kali. 

Aku tidak bisa membiarkannya!

Lalu aku sadari sesuatu. Tadi, sebelum ada tampilan itu, sebelum mataku terbuka, sebelum Ivan terbangun, Tom menampilkan neraka versinya kepadaku, memberiku rasa sakit dan kemudian mengikatku dengan rantai panas dalam keadaan terbalik. Tom sedang memberiku sugseti kalau aku tidak berdaya dan tidak punya kendali. Tapi, justru itu sebenarnya memberi indikasi sebaliknya, bukan? Aku sebenarnya punya kendali! Lalu akupun teringat sensasi setelah Maya menyengatku dengan taser gun-nya, di mana aku bisa menggerakkan bibirku dan bergumam, menahan tubuhku diam dan terjatuh. Aku tinggal mengulang sensasi itu, bukan?

Kupusatkan perhatianku berusaha merasakan sensasi kendali tubuhku walau hanya sedikit.

“Oh, dan kau pikir aku akan diam saja?” ucap Tom yang tiba-tiba tubuhnya membesar bak raksasa lalu menginjak aku seperti kecoa. 

Memang aku rasakan tubuh yang remuk dan sakit hebat yang mengiringinya, tapi aku juga merasakan alur berpikir di bagian latar belakang yang membangun marah, benci, murka yang menginginkan aku menghentikan tinjuku. Lalu mendadak aku rasakan sensasi itu; sensasi dari tangan kananku yang mengepal dan tangan kiriku yang mencengkram leher Maya.

Allahuakbar!

Alur latar belakang pikiranku itu memuncak dan mengemuka dalam kata itu! Allah Maha Besar!

Allahuakbar!

“A … Allah …,” Ivan bergumam. Dan tentu saja saat itu cengkraman tangannya terlepas, tinjunya terhenti, dan itu memberi peluang Maya untuk menembakkan taser gun-nya dan mengirim arus listrik ke tubuhku. Melumpuhkanku dan jika cukup lama Maya tekan picu taser gun itu, aku bisa tak sadarkan diri, juga Ivan.

Sebelum kesadaranku memudar, aku sempat melihat wajah Maya yang lebam dan terluka, mata yang berair, dan aku bisa merangkum wajah itu dalam satu kata : penyesalan ….


Penyesalan …. 

Apa itu penyesalan? 

Jelas penyesalan adalah tentang masa lalu, ya, kan? Tapi bukankah penyesalan juga membangun semacam harapan yang kita proyeksikan ke masa depan kalau kita tidak ingin merasakannya lagi? Tidak ingin mengulang lagi? Membuat kita melihat ke depan, mengatur langkah yang lebih terukur dan terarah? Kalau dilihat dari sudut pandang ini, bukankah penyesalan juga merupakan bentuk dari kasih sayang Tuhan?

Lihat selengkapnya