“Kau pikir kau terbebas dariku, Ian?”
Tom berkata seperti itu dalam alam mimpiku. Melipat lengannya di dada, sementara aku terikat di tiang kayu dengan kayu bakar mengelilingiku.
“Terserah,” jawabku tak peduli.
Lalu tiba-tiba api menyala! Panas, sakit dan memang membuatku menjerit, tapi aku sadar, rasa sakit di alam mimpi ini palsu. Hanya sinyal-sinyal syaraf yang dimanipulasi Tom. Mungkin saja aku bisa mati karenanya, tapi … aku tidak peduli. Setidaknya ada peluang untuk lepas dari pengaruh Tom, berarti peluang itu juga berlaku untuk semua pasukan zombinya. Hanya tinggal menemukan metode yang lebih efektif.
“Kau hanya satu dari jutaan, Ian. Memang sejauh ini, kamu yang paling menantang. Tapi sekarang kamu mulai membosankan. Aku tidak bisa melihat hasil darimu. Aku bisa dengan mudah membuangmu, kau tahu itu.”
Aku diam. Tapi aku yakin benakku berkata, “Terserah. Lakukan saja apa yang kau bisa, aku juga akan melakukan yang aku bisa.”
Tidakkah itu ujung dari kesimpulan segala yang kita lakukan? Kita lakukan apa yang terbaik berdasarkan kondisi yang ada? Memang “terbaik” di sini relatif; tergantung skala dan sudut pandang; apa yang terbaik bagiku, belum tentu terbaik bagimu, ya, kan? Terlebih lagi belum tentu terbaik dalam pandangan Allah Subhanahuwata’ala …. Tapi mungkin itulah intinya. Seluruh potensi yang aku punya berasal dari Allah, dan akan kembali kepada Allah untuk dihakimi seberapa baik aku memenuhi potensiku.
Begitu pula dengan potensi yang Tom Horowitz punya.
Akupun mulai berpikir, kenapa Tom tidak melakukannya sendiri? Membunuh Maya dengan tangannya sendiri? Apa dia tidak punya tangan? Tidak punya tubuh sendiri? Hidup sebagai sinyal yang menjajah tubuh orang lain? Kalau dilihat dari sudut pandang ini, bukankah Tom yang sebenarnya patut dikasihani? Tidak sepenuhnya hidup, tapi tidak juga sepenuhnya mati. Hidup sebagai hantu ….
Aku juga masih antara hidup dan mati. Masih terombang-ambing arus sungai, antara sadar dan tidak. Tapi aku bisa merasakan kehadiran Maya, merangkul leherku dari belakang, menyeretku ke pinggir sungai. Tapi kami tidak pernah sampai ke tepi.
Aku memang tidak sepenuhnya sadar, tapi aku menyaksikan, aku merasakan. Gelap dan dinginnya malam, basah dan dinginnya air sungai. Lalu aku lihat kilasan cahaya di langit. Ada sesuatu yang terbang di atas sana. Aku dengar juga suara mesin, namun terlalu halus kalau itu suara helikopter. Tapi mungkin ada benda terbang lain yang bisa mengambang seperti helikopter yang bersuara halus. Dan aku yakin itu bukan drone karena benda itu terlalu besar dan kemudian aku dengar suara orang dari benda terbang itu yang disusul lampu sorot yang menimpa kami.
“Di bawah sana!”
Dengan cepat Maya menarikku ke dalam air! Menyelam menghindari mereka. Lalu aku dengar suara halus hujan peluru yang menembus permukaan air sungai. Aku masih antara sadar dan tidak, orientasiku masih tumpang tindih antara alam mimpi dan kenyataan, tapi aku juga rasakan kendali gerak yang berusaha mengikuti gerak Maya, meski ….
Meski di alam mimpi, Tom masih membakarku. Panas dan menyakitkan ….
“Kamu lihat? Aku banyak menciptakan agen sepertimu! Kita lihat bagaimana kamu bisa bertahan kalau aku kirim mereka memburumu,” kata Tom di alam mimpi itu.
Panas dan menyakitkan, tapi aku juga tahu kalau aku sedang berada di dalam air yang sangat dingin dan juga tidak nyaman. Tapi semua itu menjadi semacam latar belakang yang tidak seharusnya aku maknai. Ada semacam garis halus di alur pikiranku yang menjadi semacam guideline kalau aku harus mengabaikan apapun selain mempertahankan hidupku … dan juga Maya.
Kami terus menyelam menuju kedalaman.
Kurasakan Maya menarikku dan memberi isyarat untuk menepi sambil tetap menyelam.
Aku tidak merespon, aku masih antara sadar dan tidak, tapi mendadak aku lihat mata Maya terbelalak seolah melihat ancaman dari belakangku. Aku berpaling dan melihat sosok yang bergerak cukup cepat! Aku masih memegang pistol, dan siap untuk melawan. Sosok itu menghampiriku meski sadar akan ancaman yang bisa aku berikan; dia cukup percaya diri dengan kecepatannya yang memang tidak normal untuk seseorang yang berada di dalam air. Dia menahan tanganku dan merampas pistolku dengan mudah, lalu dia acungkan senjatanya ke wajahku—tidak hanya ke wajahku, tapi ia tekan senjatanya ke wajahku hingga masuk ke mulutku, lalu akupun sadar apa yang dia acungkan bukanlah senjata.
Udara yang menipis dalam paru-paruku seketika bertambah oleh apa yang dia masukan ke dalam mulutku; semacam tabung udara mini. Lalu aku melihat sosok lain yang melakukan hal yang sama terhadap Maya.
Aku beralih ke sosok yang menolongku itu dan kulihat dia memberiku semacam rompi. Ia beri isyarat supaya aku mengenakannya. Setelah aku mengenakan rompi itu, dia mengaitkan semacam kawat baja ke rompiku. Lalu dia bergerak berenang ke satu arah sambil menarikku. Sepertinya dia memakai pakaian khusus yang bisa membuatnya mudah bergerak di dalam air—bahkan sepertinya dia tidak perlu bergerak banyak untuk menuju tujuannya.
Aku melirik ke belakang. Maya pun sama ditarik oleh sosok yang menolongnya. Aku tidak tahu siapa mereka, tapi aku tidak sempat memikirkannya. Terombang ambing antara sadar dan tidak, antara kesadaran yang disuntikkan Tom dan alam bawah sadar yang menjaga ranah pribadi yang hanya Allah yang memiliki akses; yang menjaga ruhku tetap merekat pada jiwa ragaku. Aku hanya … pasrah.
Di antara kesadaran yang gamang dan kebas itu, aku melihat sebuah benda mengapung dalam air. Kian dekat dan kian besar. Sebuah kapal selam. Bukan Nautilus, tapi ini lebih kecil. Jauh lebih kecil.
Beriringan kami memasuki lubang palka di bagian atas kapal selam itu. Awalnya Maya dan penolongnya, kemudian aku dan penolongku. Setelah kami masuk, lubang palka itu tertutup secara otomatis. Lalu air pun menyurut, membuatku terjatuh ke lantai baja karena kehilangan daya topang air yang tiba-tiba. Begitu juga Maya.
“Kamu benar-benar menyusahkan, May!” seru seorang perempuan yang segera membuatku meliriknya karena aku mengenal suaranya.
Anita?