Kegelapan ….
Aku berada dalam kegelapan ketika tiba-tiba aku dengar suara Ayah. Bukan Tom Horowitz, tapi Ayah. Aku bisa menyadari dan memastikannya karena suara itu berasal dari kenangan.
“Ian? Kamu di dalam?”
Aku sedang berada di dalam kamar. Berbaring dalam kegelapan. Dan menangis.
Mendengar Ayah aku langsung bangkit, menghapus air mataku dan duduk di sisi tempat tidur.
“Ya, Yah,” jawabku. Kulihat siluet sosok Ayah di pintu, berdiri tenang dengan kedua tangan tersembunyi di saku celana.
“Ayah mau bicara sebentar, nggak apa-apa, kan?”
Aku hanya mengangguk.
Entah beliau melihatnya atau tidak, Ayah tetap memutuskan melangkah masuk dan kemudian duduk di sampingku. Kamarku masih gelap, dan sepertinya Ayah mengerti dan menjaga harga diriku dengan tidak menyalakan lampu. Cahaya yang membantunya melihat hanya lampu bohlam dari dapur yang menyeruak masuk pintu kamarku.
“Ayah hanya ingin bilang, kita manusia dikaruniai Allah tiga unsur; raga kita, jiwa kita dan ruh. Kamu setuju itu, kan?”
Aku tidak meresponnya karena aku yakin beliau akan melanjutkan.
“Raga kita diciptakan dari apa yang ada di alam dunia ini, maka kebutuhan yang ia perlukan berasal dari alam dunia ini. Kita diciptakan dari tanah, maka nutrisi yang kita perlukan berasal dari tanah, ya, kan? Sementara jiwa kita, emosi kita, berasal dari relasi—hubungan laki-laki dan perempuan, maka nutrisi yang dibutuhkannya pun berasal dari relasi juga, entah itu relasi antara manusia seperti menikah, hubungan orang tua dan anak, pertemanan atau juga relasi dengan selain manusia seperti memiliki hewan peliharaan, liburan—membangun relasi dengan alam, ya, `kan?
“Dan yang terakhir adalah Ruh. Ini yang membedakan kita dengan mahluk lain, Ian. Konon Ruh berasal Tuhan, bahkan Quran sendiri mengklaim kalau Ruh itu ditiupkan Allah kepada rahim ibu kita merupakan bagian dari diri-Nya—Surat As Sajdah, kalau nggak salah. Jadi, nutrisi yang dibutuhkannya pun pasti berasal dari Tuhan. Apalagi yang berasal dari Tuhan selain wahyuNya, ya, `kan?”
“Quran?” tanggapku.
“Yap. Dan jeniusnya Allah, tiga unsur ini saling berkaitan! Kita tidak bisa memelihara raga kita saja sementara jiwa dan ruh kita terbengkalai. Atau kita hanya memelihara jiwa saja, atau ruh saja, tanpa memberi makan raga kita. Dengan kata lain, ketiga unsur ini mesti terpelihara secara seimbang. Bahkan di surat Ar Rahman, Allah klaim telah meninggikan langit dan menaruh timbangan di atasnya supaya kita tidak curang—terus terang Ayah sempat tidak mengerti, tapi kemudian, kalau kita perhatikan planet kita, letaknya yang tepat membuatnya layak akan kehidupan, ya, `kan? Sedikit saja lebih dekat dengan matahari, kita akan kepanasan, sedikit saja lebih jauh, kita akan kedinginan—atau atmosfer kita, yang kalau kebanyakan gas rumah kaca, pemanasan global, ya, `kan? Terlalu sedikit Jaman Es berkepanjangan. Seperti Allah ciptakan kesetimbangan di langit, maka kita juga mesti menjaga kesetimbangan diri kita! Seimbang antara raga, jiwa dan ruh kita.”
“Bagaimana, Yah? Bagaimana kita bisa tahu kalau diri kita dalam keadaan setimbang?”
Kegelapan membuatku tidak bisa melihat wajah Ayah, tapi aku bisa bayangkan beliau tersenyum. “Berarti kita butuh indikator. Seperti jarum ditimbangan yang menunjukkan titik setimbang, diri kita juga tentunya punya jarum itu. Dan indikator apa lagi yang bisa diandalkan selain perasaan bahagia? Benar, nggak?”
“Bahagia?”
“Ya, kita tidak akan bahagia kalau kita kelaparan, ya, kan? Kita juga tidak akan bahagia kalau sakit akibat terlalu kenyang. Jiwa kita juga tidak akan bahagia kalau stress atau sebaliknya overexcited.”