Wa iz qala rabbuka lil-mala'ikati inni jaa'ilun fil-ardi khalifah ....
Maya yang membacakan ayat Al Quran itu. Masih membacakannya ketika aku mulai mengikutinya, meski tanpa suara. Bahkan, aku mulai mendahulinya karena seolah dalam benakku telah terbuka lembaran-lembaran Quran. Tidak hanya itu, benakku berusaha menganalisa apa yang aku baca berdasarkan kenangan itu. Kenangan bersama Ayah.
Memang, aku masih merasakan ancaman yang besar, tapi seolah terurai oleh kenangan itu. Tidak sepenuhnya hilang, hanya terurai. Bahkan sebenarnya kita tidak akan bisa memusnahkannya, karena sebagai manusia, ancaman itu selalu ada; ketakutan, kelaparan, kehilangan (Al Baqarah ayat 155). Kita tidak bisa menghilangkan perasaan terancam itu. Hanya saja, bagiku, kenangan itu memberiku titik aman di mana dalam fase hidupku, Ayah datang membawa semacam pegangan yang bisa menuntunku kepada kebahagiaan, walau seburuk apapun kondisi yang aku alami. Dan kondisi apa yang paling buruk selain aku lupa dengan kenangan itu? Aku kehilangan kendali untuk mengingatnya …, sampai Maya membacakan Quran untukku ….
Lalu, apakah metode Ayah itu benar? Kalau Quran memiliki sifat progresif seperti buku? Kemudian aku teringat dengan Tom Horowitz dan rencana perang besarnya. Menurut Ayah, berdasarkan surat Al Anfaal, semulia apapun idealisme yang menyokong sebuah peperangan, ujung-ujungnya adalah rampasan perang—apapun bentuk rampasan perang itu. Dan tentu saja, inti dari rampasan perang adalah sisi yang menang akan menjadi penguasa bagi sisi yang kalah. Atau minimal menjadi pahlawan bagi bangsanya sendiri. Tentunya penguasa atau pahlawan memiliki tingkat status yang tinggi, ya, kan? Surat Al Araaf, ya, kan? Dan jika memiliki status yang tinggi, maka bisnis pun akan mudah, ya, kan? Surat Al An’aam, ya, kan? Dan jika bisnis lancar, tentunya hidangan pun tersedia dengan mudah—Al Maidah …. Dan jika status, bisnis dan hidangan baik, maka jodoh pun akan mudah didapat …. Surat Annisa, ya, `kan? Dan semua itu, baik-buruknya, tergantung dari kondisi hati yang dirangkum dalam dua surat raksasa—Al Baqarah dan Ali Imran. Dan kondisi hati itu tidak akan menjadi baik, tanpa petunjuk Allah …, Al Fatihah.
Kurasakan jatungku berdebar mendapati alur berpikir seperti itu.
Memang ada kesan memaksakan, tapi tetap saja ada poin yang menyetujui kalau metode Ayah itu ada benarnya; kalau Quran juga memiliki sifat progresif seperti buku! Jadi, seperti buku yang progresif, maka seperti buku juga, Quran mesti berakhir pada kesimpulan, ya, `kan? Dan Quran berakhir di surat An Naas—Manusia ….
Kurasakan jantungku makin berdebar. Dan kali ini aku turunkan tinjuku dari pintu baja itu. Dan kemudian aku mengangkat tangan. Lalu aku dengar Maya menghentikan bacaan Qurannya.
Manusia….
Quran bercerita tentang manusia. Kelebihan dan kekurangan manusia. Potensi manusia. Sepak terjang manusia dari awal sampai akhir. Manusia yang bisa dipengaruhi oleh bisikan-bisikan … yang dihembuskan ke dada manusia … oleh jin dan juga manusia.
Kamu tahu surat An Naas, Ian? Aku bertanya pada diriku sendiri.
Katakan, aku berlindung kepada Tuhan manusia …. Raja manusia …. Sembahan manusia …. Dari bisikan jahat yang tersembunyi …. Yang dihembus-hembuskan ke dada manusia …. Dari golongan jin dan manusia ….
Cukup sudah! Bukankah ancaman-ancaman yang kurasakan itu sebenarnya hanya bisikan saja? Bahkan Tom Horowitz pun sebenarnya hanya bisikan saja, tidak lebih! Iblis dan bala tentaranya hanya datang kepada manusia dalam bentuk bisikan! Tidak lebih!
Bisikan ….
Aku masih mengangkat tangan, lalu aku membalikkan badan. Kurasakan air di ruang Diver Chamber ini menyusut. Aku buka pakaian selam itu ketika air telah menyusut sampai lutut. Setelah air surut sempurna, aku berlutut sambil menempatkan kedua tanganku di kepala. Kurasakan air mataku deras keluar. Aku menangis ….
Menangis karena jika Tom hanya berupa bisikan, maka sebenarnya, Ivan Ardiansyah itu sebenarnya tidak ada. Yang artinya, yang membunuh semua orang itu adalah aku. Aku yang lupa akan kendali diri, tapi tetap saja aku yang membunuh mereka. Membunuh wartawan itu, membunuh para mafia itu, membunuh dua petugas jalan raya itu ….
Aku harus mempertanggungjawabkan semua itu ….
Ketika pintu baja itu terbuka, kulihat segerombolan penjaga mengacungkan senjatanya kepadaku. Tanpa diperintah aku berbaring menelungkup dan menempatkan kembali kedua tanganku di kepala. Mereka masuk dan mengeremuniku sambil tetap mengacungkan senjata mereka. Lalu salah seorangnya menusukkan jarum suntik ke lenganku yang bisa aku duga kalau suntikan itu akan membuatku tidak sadarkan diri.
Aku harus bertanggung jawab! Yang membunuh bukanlah Tom, atau Ivan. Yang menarik pelatuk bukan mereka, tapi Ian…, hanya Ian…. Aku yang membunuh ….
Lalu kegelapan menyergapku sebelum aku dengar lagi suara Ayah.
“Kau hebat, Ian …. Kau dan agamamu, ya …. Mungkin itu yang… harus aku hancurkan pertama kali, ya? …Agamamu? … Quranmu? … Terima kasih sudah memberi tahu aku.”
Kudengar suara Ayah, tapi aku yakin itu bukan Ayah.
Tom …
Suara itu terdengar samar. Aku mendengarnya ketika terbangun, ketika perlahan membuka mata.
Kau hanya bisikan, Tom. Tidak lebih ….
“Kita lihat apa aku hanya bisikan … atau sangkakala bagi akhir duniamu ….”