Kapten Nemo memberiku imbalan sembilan puluh sembilan butir mutiara, untuk misi perbaikan pintu itu bersama Ali, yang bisa aku manfaatkan sebagai mahar untuk Maya. Sebuah imbalan yang overkill—sangat keterlaluan untuk hanya membantu memperbaiki pintu yang sebenarnya aku rusak sendiri. Benar-benar aneh. Tapi aku terima dan aku berikan kepada Maya sebagai mas kawin. Lagipula, merujuk kepada Kapten Nemo di cerita Jules Vern, Kapten Nemo ini juga punya sumber mutiara yang berlimpah, tentunya. Dari bentuk yang tidak seragam, mutiara-mutiara ini jelas mutiara alami.
Sebagai yang berwenang di kapal ini, Kapten Nemo bertindak sebagai wali hakim. Kami berada di sebuah aula yang cukup besar. Penuh dengan orang-orang berseragam yang sama. Aku dan Maya duduk berdampingan di lantai di tengah-tengah aula. Ali sebagai saksi dari pihakku sementara dari pihak Maya seorang pria kulit putih bernama Ray Minerva (cukup jelas dari kemiripan di raut wajahnya, dia ada hubungan saudara dengan Miss M). Sementara tangan kananku menjabat tangan Kapten Nemo, kami mengucapkan ijab kabul. Lalu, aku dan Maya resmi menjadi pasangan suami-istri. Itu sederhananya.
Hanya saja, tidak pernah ada yang sederhana jika melibatkan emosi. Manusia suka menolak sebuah kesederhanan jika melibatkan emosi. Aku dengar sorak sorai dan tepuk tangan ketika aku berhasil mengucapkan, “Saya terima nikahnya…,” dalam satu kali coba. Aku menarik napas lega, tersenyum meski mataku membasah; teringat Ayah dan Ibu. Kulirik Maya dan mendapati senyum, walau juga berurai air mata. Aku gamit tangannya, dan dia membalas remasan tanganku, lembut. Lalu Kapten Nemo memberi aba-aba militer yang belum pernah aku lihat dan aku dengar sebelum ini, yang kemudian diikuti oleh seluruh awak kapal untuk berbaris. Aku dan Maya berdiri dan berkeliling memberi salam kepada setiap orang, dengan harapan mendapatkan doa mereka. Setelah prosesi yang panjang itu, hidangan disediakan di tengah aula, diiringi hiruk pikuk sebuah pesta, tawa canda dan kebahagiaan.
Aku perhatikan, tidak ada anak-anak di sini. Kamu tahu itu artinya apa?
Jika Kapten Nemo mendukung institusi pernikahan—bahkan dia memiliki putra—maka semua awak kapal ini tidaklah selamanya tinggal di dalam Nautilus seperti di cerita Jules Vern. Mereka punya keluarga untuk kembali.
Sempat aku bertanya kepada Ali, “Apa kamu sudah menikah?”
Ali tersenyum lebar dan mengeluarkan dompetnya untuk memperlihatkan sebuah foto. Foto seorang perempuan bersama tiga orang anak perempuan yang hampir sebaya antara empat sampai tujuh tahun. Bersama latar belakang interior sebuah rumah sederhana nan asri. Dia perkenalkan mereka dengan penuh kebanggaan.
Aku tersenyum mendengarkan Ali bercerita tentang putri-putrinya. Hanya saja, sempat aku melirik Maya, istriku, yang sedang berbincang-bincang dengan Anita, Miss M dan teman-temannya. Lalu, aku bertanya-tanya, setelah semua ini berakhir kemana aku dan Maya akan kembali?
***
“Ian,” kudengar suara Maya dan aku pun terbangun. Tapi aku lihat Maya sedang lelap tertidur.
Aku bangkit dan duduk. Entah apa atau siapa yang aku dengar itu. Entah Babel atau Maya di masa depan, atau imajinasiku yang mulai tidak bisa dipercaya. Entahlah.
“Ian? Kamu tidak apa-apa?” Maya terbangun.
“Ya,” jawabku sambil meraih layar panel di samping tempat tidur dan menggeser sebuah baris untuk memberi penerangan. “Aku baik-baik saja.”
Kurasakan Maya menghampiri, lalu memelukku dari belakang dan menaruh dagunya di bahuku. “Hmm, ‘Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?’ Itu, `kan, yang kamu pikirkan?”
Aku tersenyum. “Benar sekali. Dan apapun itu, kita akan melakukannya bersama.”
“Benar sekali! Jadi tidak usah terlalu dipikirkan.” Ia menarik bahuku supaya aku menghadapnya, kemudian dia mengusap pipiku dengan kedua tangannya.
“Tapi kita memang harus cari cara untuk menghentikan Tom Horowitz. Ya, `kan?” desahku pelan. Tatapanku tenggelam di binar matanya.
Maya terdiam sejenak. “Apa mungkin seseorang mengubah dirinya menjadi semacam sinyal saja? Mengendalikan benak orang lain seenaknya?”
“Dia mengendalikan aku karena ada mesinnya tertanam di kepalaku.”
“Chris Carver bilang kalau Tom berambisi mengubah dirinya menjadi kesadaran saja, tanpa tubuh yang perlu makan atau istirahat. Apa menurut kamu itu mungkin?”
Aku menggeleng. “Ayahku pernah bilang kalau manusia terdiri dari tiga unsur; raga, jiwa dan ruh.”
“Bukannya ruh dan jiwa sama?”
“Jiwa sepertinya lebih ke emosi, sementara ruh …, yang membedakan kita dengan hewan. Maksudku, kita berbagi raga yang sama dengan hewan, `kan? Carbon based. Juga emosi yang sama; senang, sedih, marah, takut. Jadi, ruh … semacam tweak dari dua unsur itu. Seperti hewan, tubuh kita mesti makan, tapi ada bagian dari diri kita yang mencegah untuk makan hanya sekedar makan. Mesti higienis, baik—
“Dan halal,” imbuh Maya cepat. “Ya, ya, aku mengerti. Emosi juga sama, `kan? Kita marah tapi gak bisa langsung terkam.”
Aku terkekeh. “Nah, iya. Jadi, emosi dibangun oleh relasi antar dua entiti, ya, `kan? Seperti … cinta ….”
Maya tersenyum lembut saat aku ucapkan kata itu dan menyentuh pipiku.
“Kita tidak bisa menjalin hubungan seenaknya seperti hewan, `kan? Ada bagian dari diri kita yang menginginkan norma yang lebih dari diri kita untuk bisa mengarahkan perasaan kita.” Aku melanjutkan.
“Dan itu namanya Ruh,” imbuh Maya.