“Apa itu artinya?” ucap Maya, menyuarakan pertanyaan yang sama yang ada di benakku.
Entah kenapa aku mendadak lemas dan segera mencari kursi untuk duduk.
Aku lirik layar yang masih menampilkan rangkaian tiga huruf, ianianianian ....
Maya menghampiriku dan ikut duduk. Ia cengkram tanganku.
“Ian, ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanya Maya.
“Tidak apa-apa," jawabku, meski benakku masih mengambang pada sebuah ide yang muncul seperti kabut. "Cuma ... kalau teori Babel itu adalah kamu di masa depan, di mana aku di masa depanmu itu?”
Maya tampak terkejut dan mendadak matanya nanar. Ia menyadarinya. Maya menyadarinya. Jika layar itu adalah Maya di masa depan, maka namaku yang berjejer itu menunjukkan kalau aku tidak bersamanya. Aku tidak berbagi masa depan yang sama dengan Maya. Kemungkinan besar, di masa depan itu aku sudah tiada …. Itupun jika benar Babel adalah Maya di masa depan. Itupun jika waktu berjalan linier ....
Tapi kemudian, Maya memaksakan seulas senyum, “Tapi masa depan tetap tidak pasti, ya, `kan? Seperti kamu bilang, down the path always lies oblivion.”
Aku tersenyum. “Ya, kamu benar. Itu hanya teori.”
“Ya, itu benar! Hanya teori!” serunya.
Lalu aku berpaling kepada Mr. Carver. “Sir, bisa jelaskan bagaimana Babel bekerja? Saya tadi sempat menangkap perkataan Kapten kalau sinyal Tom itu organik, itu benar? Apa maskudnya?”
Mr. Carver menarik kursi terdekat dan duduk. “Sinyal Babel itu unik. Sampai setua ini aku juga masih ragu menggunakan istilah ‘sinyal’ untuk Babel. Gelombang otak mungkin lebih tepat, tapi itu juga tidak terlalu tepat. Bisa dibilang, penelitan Tom dan aku dahulu hanya kebetulan saja, tapi itu juga tidak tepat, mengingat kondisi kita sekarang ini. Seolah ada rencana besar yang menggiring kita pada satu arah."
Bidak pada papan catur raksasa bernama dunia ...., imbuh benakku.
“Aku tidak melihat yang organik cari mesin ini,” kata Maya.
Mr. Carver tersenyum getir. "Sebenarnya kita tidak ada bedanya sama Tom, cuma ...."
Mr. Carver menghampiri panel komputer dan memberi perintah pada papan sentuh hingga kemudian terbuka sepasang pintu geser. Pintu itu memperlihatkan kandang kaca yang di dalamnya terdapat empat pasang simpanse yang tersekat-sekat kandang. Tiap sekat kandang itu terhubung dengan ruang lebih besar di tengah-tengah sehingga mereka bisa saling berinteraksi satu sama lain. Namun, yang seketika menarik perhatianku adalah kerah logam yang melingkar di leher masing-masing simpanse. Aku menduga, kerah itu terhubung dengan otak mereka.
“Kami menggunakan otak simpanse itu untuk generate sinyal mesin ini.”
“Itu agak ... kejam," komentar Maya.
“Ya, aku juga sependapat. Tapi setidaknya kami usahakan setiap kebutuhan hidup mereka terpenuhi,” ujar Mr. Carver.
“Tapi bagaimana Anda dan Tom dulu menemukan mesin ini?” tanyaku.
Mr. Carver beranjak, menghampiri rak buku dan mengambil sebuah buku. Ia membuka buku itu sambil menghampiri kami. Ambil selembar kertas yang terselip dibuku itu dan menyerahkannya kepadaku. Selembar foto.
Kulihat dua orang laki-laki muda tengah duduk di dua kursi yang mirip kursi listrik untuk hukuman mati, dan memang dua laki-laki itu bertingkah seperti orang yang sedang tersengat listrik. Seorang darinya tampak jelas Mr. Carver di masa mudanya, berarti yang satunya lagi adalah ….
Tom Horowitz.
Lak-laki kurus berhidung bengkok dengan kacamata besar dan tiga jerawat merah di pipi kirinya. Tentu saja jauh berbeda dari sosok Ayah.
“Awalnya kami pikir, kami akan menciptakan mesin yang bisa membuat kami bisa telepati. Tapi kemudian benar-benar berubah semenjak kami mencobanya. Aku sangat ingat bagaimana otakku serasa dibanjiri informasi. Aku muntah dibuatnya. Tom mulai terobsesi kalau dengan mesin itu dia bisa berkomunikasi dengan alien atau semacamnya. Lalu segalanya benar-benar berubah. Aku masih terus membantunya …, meski kemudian … tidak secara verbal, aku turun jabatan menjadi jongosnya daripada rekannya.”
“Apa dia berasal dari keluarga yang baik?’ tanyaku.