Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #33

Kehilangan Maya

Aku bodoh! Benar-benar bodoh! Aku seharusnya bisa mencegahnya!

Aku duduk merunduk di depan pintu ruang perawatan medis. Pintu itu tertutup dan Maya ada di dalamnya; entah kenapa. Aku merunduk makin dalam, membenamkan wajahku ke kedua telapak tanganku. Lalu, aku rasakan seseorang mendekatiku, tapi aku tidak bergeming.

I’m sorry, Ian. I-I-I didn’t know that would happen,” kata Mr. Carver sambil duduk di sampingku.

“Bukan salah Anda, Mr. Carver.” Aku mendongak dan menatap langit-langit koriodor.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumam Mr. Carver.

“Entahlah,” jawabku berbisik. Tapi aku tidak sepenuhnya jujur, aku bisa menduga-duga apa yang terjadi. Akankah kamu mengerti kalau aku bilang, kasus Maya seperti mendekatkan mikrofon ke speaker? Konon itu namanya feedback. Ah, entahlah! Aku mungkin terdengar mengada-ada …, atau sebenarnya aku berharap mengada-ada. Jika dugaanku itu benar, artinya Maya terpapar sinyal dari dirinya sendiri, yang artinya Babel adalah benar Maya di masa depan. Itu sepertinya tidak bisa dipungkiri lagi …, jika duganku soal feedback itu benar.

Jika semakin kentara asumsi Babel adalah Maya di masa depan, maka waktu tidak lagi berjalan linier, atau pernah berbelok di suatu cakrawala peristiwa .... Ah! Aku tidak tahu sebenarnya! Aku mungkin benar mengada-ada. Hanya mencari-cari jawaban yang membenarkan kalau Babel adalah Maya di masa depan, karena ... karena itu artinya Maya bisa melampaui kondisi ini.

Ketika pintu ruang medis itu terbuka, aku langsung berdiri. Kulihat seorang dokter dan dia menghampiriku. Dokter itu bilang kalau Maya sudah stabil dan sedang istirahat. Aku diperbolehkan menemuinya, asalkan jangan mengganggu istirahatnya. Yang bisa aku lakukan selanjutnya hanya duduk di samping tempat tidurnya dan menatapnya tertidur.

Wajahnya tampak pucat. Matanya yang tadi berdarah sepertinya tidak apa-apa. Hanya pembuluh darah yang pecah di kantung air matanya, begitu kata dokter. Napasnya teratur. Sepertinya dia akan baik-baik saja …. Aku harap begitu.

Ah, lebih dari sekedar harapan sebenarnya. Jika Babel adalah Maya di masa depan, itu berarti Maya bisa melampaui kondisi ini, meski dalam prosesnya ... aku mungkin akan kehilangan nyawa.

Aku raih tangan kanannya dan mengelusnya lembut. Aku buka telapak tangannya dan membenamkan wajahku di sana. Aku menangis pelan; mengakui kalau aku tidak ingin merasa kehilangan lagi, tapi lebih dari itu, aku ingin Maya tetap hidup. Jika mesti bertukar nyawa, aku bersedia!

Aku angkat wajahku dan menatap Maya sebentar. Lalu aku silangkan tanganku di samping lengan Maya, dan mengistirahatkan kepalaku di atasnya.

Ya ..., aku bersedia ... bertukar nyawa denganmu, May. Kamu punya peran yang lebih besar dari aku.

Lama-lama aku jatuh tertidur.

Aku tersentak bangun oleh seorang perawat yang menyetuh pundakku. Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur. Dia menyuruhku kembali ke kabinku dan beristirahat dengan layak. Aku mengangguk dan menurut. Aku beranjak, dan sebelum aku keluar, aku kecup kening Maya dan merapal doa. Aku tuju kabinku dan segera tidur, tapi sulit.

Beberapa kali aku mengerejap seperti tersengat, setiap benakku mulai kehilangan kesadaran. Lelah memang, tapi seolah ada yang mencegahku untuk tertidur. Lalu, aku putuskan untuk kembali ke ruang perawatan medis menemui Maya. Sepertinya aku bisa tertidur bila dekat Maya. Tapi kemudian segalanya berubah arah.

Ada sebersit ide yang mengubah arah langkahku menuju ruang Babel. Entah kenapa aku merasakan dorongan kuat untuk memasuki ruang itu. Mungkin karena memang di sana awal mula Maya kehilangan kesadaran. Tapi ... aku rasakan ada dorongan yang lebih besar lagi di hatiku.

Aku masuki ruang itu. Kosong, tidak ada Mr. Carver. Aku hampiri panel komputer dan membuka rak samping yang memperlihatkan kursi listrik itu. Aku operasikan panel sampai aku dengar bunyi dengung mesin, lalu aku duduk dan mengenakan helm kursi itu.

Aku tidak merasakan apa-apa, sampai entah kenapa aku seolah-olah jatuh tertidur.

Kurasakan sensasi jatuh yang pernah aku rasakan, tapi terasa berbeda. Aku rasakan seperti orang yang sedang tenggelam, tapi aku masih bisa bernapas. Aku mengambang, tapi tahu aku makin dalam ke bawah. Lalu aku dengar namaku dipanggil.

“Ian …, Ian …, kaukah itu? Kamu … di mana?”

Mataku mengerejap, karena melihat cahaya lembut berpendar agak jauh. Tapi cahaya itu mendekat; lembut, tidak silau. Cahaya itu mendekat perlahan, tapi tiba-tiba dengan cepat mendekat dan menghantam wajahku. Lalu aku melihat sebuah ledakan besar! Aku melihat pesawat-pesawat beterbangan! Aku lihat tembakan-tembakan dan misil-misil yang beterbangan mengancam! Aku melihat gedung yang hancur! Aku melihat orang-orang berlarian! Aku melihat orang-orang bergelimpangan tak bernyawa!

“Ian! Pergi dari sana! Nautilus diserang!”

Lihat selengkapnya