“Ian, kamu tidak apa-apa?” Maya menghampiri setelah sosok berpelindung baja itu tumbang.
“Ya, aku baik-baik saja. Kita mesti secepatnya keluar dari sini.”
“Misil itu! Pesawat itu! Kita bisa menaikinya!” usul Maya.
Menaikinya?” tanyaku heran.
Suara Maya beralih menjadi datar, “Aku harus menaikinya. D-suit ini compatible dengan D-suit pilot ini. Aku bisa menyusup sistem kendali Tom untuk mengendalikab para pilot itu.”
"Kamu yakin?"
"Ya, aku yakin. Entah kenapa aku yakin."
“Itu terdengar seperti sebuah rencana,” tanggapku.
“Ya,” jawab Maya.
“Tapi bukan rencana yang baik.”
“Ya, aku tahu.”
Kami pun segera keluar dari anjungan, menuju ruang misil.
Di sana aku lihat ada semacam asap mengepul dari bawah tabung-tabung raksasa itu. Maya benar, ada semacam hitungan mundur yang akan membuat tabung-tabung raksasa itu meluncur. Entah bagaimana dia bisa tahu. Mungkin ada hubungannya dengan Babel, tapi tetap saja itu cuma dugaan. Kulihat salah satu tabung raksasa itu bagian atasnya ada yang terbuka dan memperlihatkan kokpit sebuah pesawat.
“Kita harus ke atas sana!” ucap Maya.
Tiba-tiba aku dengar tembakan, yang segera membuat kami merunduk dan berlindung. Sempat aku lihat, bagian atas tabung lain telah terbuka dan kulihat sosok besar berpelindung D-suit keluar dari kokpit pesawat itu. Dia menembakan pistol ke arah kami.
“May, berapa persen baterai D-suit kamu?” tanyaku.
“Se-sedikit lagi, sembilan persen. Kamu?”
“Dua-delapan. Kamu harus segera naik ke pesawat itu sebelum baterai habis. Aku akan mengalihkan perhatiannya,” kataku sambil mengintip dan melihat sosok itu melompat dari kokpit dan mendarat di jalur gang yang menghubungkan tiap bagian atas tabung-tabung rakasasa itu. Untunglah dia tidak bersenjata senapan seperti yang tadi.
“Tidak, Ian. Kita mesti sama-sama!”
“Jangan membantah, May. Kita tidak punya waktu berdebat. Baterai kamu sudah tipis, aku tidak bisa melindungi kamu jiak tidak terlindungi D-suit. Atau kita mau bertukar D-suit, yang jelas makin memakan waktu, dan dia akan segera datang membunuh kita. Sudah jangan berdebat! Kita akan bersama lagi! Aku pasti berhasil!” kataku sambil kemudian berlari menjauhi Maya yang segera diikuti tembakan. Sempat satu peluru menyerempet pelindung bahuku yang sempat memercikan api. Sudut mataku sempat melirik, dan melihat Maya bergerak mendekati tabung raksasa itu.
Nah, semoga berhasil, May!
Aku dekati sosok itu sambil menghindari tembakan. Sejauh ini cukup berhasil, hanya saja kalau semakin dekat, tembakannya akan semakin fokus tertuju ke daerah vital tubuhku. Tapi untunglah asap putih dari bagian bawah tabung itu mengepul makin tebal dan sempat menghalangi pandangnnya. Tentu saja menghalangi pandanganku juga, tapi aku tidak boleh ragu-ragu! Aku menerjang, berharap tidak ada tembakan yang mengenaiku, dan menabrak sosok itu hingga terpental, menghantam pinggiran gang dan terjungkal jatuh ke dasar ruang misil di mana asap makin tebal mengepul. Sempat aku melihat di bawah sana percikan api, yang menandakan tabung-tabung raksasa itu akan memuntahkan isinya.
Aku harus cepat!
Aku berlari menjauh sesaat, mengambil ancang-ancang untuk melompat dan meraih sudut bagian atas salah satu tabung itu. Aku melompat sekuat yang aku bisa, menabrak tabung itu dan berhasil mengaitkan jemariku ke sudut atas tabung itu. Aku tarik naik tubuhku, dan kesulitan saat terasa tabung ini mulai bergoncang.
Panik membuatku mengeluarkan tenaga ekstra yang bisa membuatku menarik tubuhku dan melompat menuju kokpit pesawat itu. Hanya saja, tiba-tiba aku rasakan dorongan yang menekan ketika aku hendak memasuki kokpit itu! Dorongan itu membuat kanopi kokpit patah dan aku hanya bisa merunduk dan berpegangan kuat pada pinggiran kokpit. Kurasakan tekanan gravitasi yang bertambah, yang menandakan misil ini berikut pesawat ini tengah meluncur!
Mendadak aku rasakan tekanan yang lebih besar lagi ketika kurasakan air menghantam tubuhku. Sempat aku terdorong, tapi segera merapatkan lagi tubuhku ke sisi kokpit pesawat. Sungguh akan lebih mudah rasanya kalau aku telah duduk di kokpit itu.
Lalu tekanan menjadi ringan ketika kutinggalkan permukaan air. Aku bisa bergerak sedikit dan mencoba memasuki kokpit itu.Tapi tiba-tiba kurasakan guncangan dan kulihat bagian bawah pesawat ini lepas! Sebenarnya memang normal, karena tabung bagian bawah pesawat ini merupakan pendorong pembantu yang dirancang untuk terlepas pada ketinggian tertentu. Ya, memang normal, tapi sayangnya aku tidak siap. Ketika guncangan itu terjadi, aku sedang bergerak hendak memasuki kokpit. Peganganku terlepas dan aku terjatuh. Terjun dan sebentar lagi akan kembali menghantam permukaan laut.
Tapi, tidak. Aku tidak lagi kembali ke laut! Saat terjun itu, aku melihat ada sesuatu mendekat dengan cepat. Mengiringi kecepatan terjunku, lalu merapat ke tubuhku dan menyambarku dari cengkraman gravitasi. Sesaat kemudian aku sadari aku sedang berada di punggung sebuah pesawat jet.
“Ian, kamu baik-baik saja?” Kudengar suara Maya.