Ruang sunyi yang meliputiku mendadak terganggung oleh suara gemerisik dari alat komunikasi di helm D-suit.
“I-Ian … k-kau b-b-bisa …ngar? T-T-Ter-lalu … ba-nyak … in-terference. Ian … d-do you copy?”
Entah Kapten Nemo, Ali atau Anita, aku tidak tahu siapa yang menghubungiku. Suaranya terdengar berisik, seperti ada gangguan sinyal.
“Copy. Ian di sini,” jawabku, terdengar lemah meski aku berniat untuk tegas.
“S-stand … by. K-k-kami … kan je … mput.”
Suara gemerisik itupun mati.
Sunyi kembali meliputiku. Mataku nanar menembus display helm dan menangkap citra langit malam yang bertabur bintang.
Indah ….
Harus aku akui itu memang indah, tapi aku tidak bisa menikmatinya. Hatiku terasa kebas, seolah ada bagian dari diriku yang menekan keinginan untuk mengagungkan Allah atas ciptaanNya itu—bagian yang merasa hanya bisa menikmati tebaran gemintang itu bila aku bersama Maya. Mungkin bukan sikap yang baik tapi, itulah yang aku rasakan—atau setidaknya separuh yang aku rasakan. Separuhnya lagi hanya perasaan kebas yang terfokus pada objektif misi pribadi untuk menemukan Maya.
Ya, aku punya ide, tapi sebelum itu aku mesti kembali ke Nautilus dan berkonsulutasi dengan Kapten Nemo, juga Mr. Carver.
Kemudian—entah selang berapa lama, aku tidak ingat—aku rasakan bumi bergetar. Getar halus yang kian menguat. Getar yang menandakan ada kendaraan besar mendekat. Aku aktifkan D-suit dan reboot sistem. D-suitku aktif ketika getar bumi berhenti. Aku melirik ke samping kanan dan melihat semacam kendaraan hovercraft yang bentuknya seperti tank, namun tanpa roda. Benda itu sepertinya berjalan dengan turbin yang berada di bawahnya. Kulihat empat sosok memakai D-suit keluar dari hovercraft itu. Mereka menghampiriku.
“Kamu baik-baik saja, Ian?”
Aku dengar suara Kapten Nemo di alat komunikasiku, sepertinya berasal dari sosok D-suit yang berjalan paling depan. Suaranya terdengar sedih. Terdengar bersimpati.
Aku masih berbaring. Hendak menjawab tapi entah kenapa napasku terasa tercekat. Aku bangkit, menatapnya dan mengangguk.
“Kamu bisa berjalan?”
Aku pun berdiri dan mengangguk.
“Aku turut berduka … tentang Maya,” kata sang kapten.
“Bukan sekali ini dia menghilang,” bisikku datar, agak parau.
“Maksudmu Maya masih hidup?” tanya Kapten Nemo. Nada pertanyaannya itu datar, tidak ada kesan heran, dan itu membuatku bisa menduga kalau belasungkawa beliau tadi hanya untuk memancing reaksiku.
“Saya tidak yakin, tapi saya akan mencoba memastikannya.”
“Bagaimana caranya?”
“Saya harus kembali ke Nautilus, mencoba mesin milik Mr. Carver,” jawabku sambil berjalan mendekati sang kapten, lalu kami berjalan beriringan menuju hovercraft. Kami naiki ramp menuju pintu palka hovercraft yang terhubung ke ruang sterilisasi. Kami dipindai dan dibersihkan dari sisa-sisa radioaktif.
Saat sterilisasi itu, aku rasakan hovercraft mulai bergetar. Kulihat dari jendela tebal, hovercraft ini terangkat dari permukaan pasir, dan menerbangkan pasir hingga menutupi seluruh permukaan kendaraan seperti badai pasir buatan. Badai pasir yang menjadi semacam kamuflase. Lalu aku rasakan hovercraft mulai bergerak. Sepertinya memutar dan kembali bergerak menuju arah datangnya.
Setelah melewati proses sterilisasi, kami berbaris lewati pintu palka lain yang membawa kami pada ruang penyimpanan D-suit. Kulihat beberapa D-suit tertaut di dinding. Aku juga melihat sisi lain dari interior Hovercraft ini ternyata langsung ke ruang kendali hovercraft dengan berberapa kru duduk di balik panel kendali.
Aku hampiri salah satu tautan D-suit yang kosong, tempelkan punggungku ke sana dan biarkan sistem tautan itu mengerjakan sisanya. Membuka dan melepaskan diriku dari kurungan D-suit.
Setelah aku terlepas dari D-suit-ku, kulihat Kapten Nemo juga telah turun dari D-suit-nya. Aku pun langsung bertanya, “Maaf, Kapten, apa sudah bisa dipastikan Tom mati?”