Aku tidak bisa mengklaim kebenaran dari apa yang aku katakan soal wormhole itu. Teori ngasal tentang Lubang cacing yang “terkejutkan” oleh ledakan nuklir hingga membentuk lubang hitam temporal yang meski sekejap bisa menelan ledakan nuklirnya juga Maya berikut armada jet tempurnya ke Ruang-Waktu lain. Tapi … ini gila! Benar-benar gila! Bukan benar-salah lagi! Hidupku berevolusi menjadi cerita fiksi ilmiah yang seolah keluar dari ranah khayal Jules Vern.
Ya, ya, aku tahu Jules Vern tidak mengenal telnologi nuklir, lubang cacing atau lubang hitam. Itu hanya kiasan! Tapi, tetap saja … benar atau salah, ilmiah atau tidak, gila atau waras, aku ingin bertemu Maya lagi. Itu yang tidak bisa aku pungkiri! Itu yang bisa aku klaim kebenarannya! Aku hanya ingin bertemu Maya kembali!
Dan aku harap sinyal Babel masih ada … terdeteksi oleh mesin Mr. Carver ….
Buah pikiran itu berulang kuputar dalam benakku sampai kami tiba dan berlabuh dalam lambung Nautilus.
Ketika pintu terbuka, Kapten Nemo mempersilahkan aku keluar lebih dulu. Aku mengerenyit heran.
“Bagaimanapun kamu dan Maya yang menjadi pahlawan hari ini,” kata sang kapten.
Aku pun melangkah, untuk menuruni ramp yang menjadi bidang miring untuk kulangkahi menuju hangar. Hanya saja aku tertahan di depan pintu saat aku dengar tepuk tangan dari kumpulan awak kapal yang memenuhi hangar. Mereka menyambutku sebagai seorang pahlawan.
Bukan! Maya yang sebenarnya berjasa! Maya yang sebenarnya menjadi alasan kita bisa berada di sini!
Aku merunduk. Aku melangkah pelan menuruni ramp. Aku masih mendengar tepuk tangan mereka—hanya tepuk tangan dan tidak ada sorak sorai yang aku baca sebagai sikap simpati mereka terhadap kehilangan Maya. Ketika aku melewati akhir bidang miring ramp itu, aku rasakan pundakku di tepuk banyak orang. Aku rasakan simpati mereka akan perasaan kehilangan.
Aku mengangkat kepala saat kukumpulkan seluruh kesadaranku untuk memusatkan perhatian pada niat awal; menggunakan mesin Mr. Carver untuk terhubung dengan sinyal Babel/Maya.
Aku pindai orang-orang disekitarku sambil berjalan, sampai aku menemukan sosok tua Mr. Carver. Beliau bertepuk tangan, dan tersenyum saat aku menatapnya. Senyumnya terkesan sedih.
“Mr. Carver, izinkan saya menggunakan mesin Babel,” pintaku setelah dekat.
Tapi, sebelum Mr. Carver angkat bicara, aku dengar Kapten Nemo dari belakangku mencegah. “Tidak, Ian. Cek kesehatanmu dulu, makan dan istirahat. Mempersiapkan stamina juga merupakan bagian dari misi.”
Aku menoleh, menatap Kapten Nemo. Meski aku tidak mengharapkannya, tapi memang menyetujuinya. Perintahnya memang logis. Aku pun mengangguk.
Meski tak perlu digiring, aku ditemani Kapten Nemo dan Mr. Carver menuju ruang medis. Di sana aku disambut Anita dan Mrs. M. Wajah mereka berdua sembab, sepertinya telah menangisi hilangnya Maya. Mereka pasti mengira Maya telah mati. Yah, aku tidak menyangkalnya. Bagaimanapun, siapa yang bisa bertahan dari ledakan nuklir dengan jarak sedekat itu?
Tapi akan absurd kalau Maya mati! Bagaimana dengan Babel? Bukankah itu Maya?
Aku berbaring di tempat tidur khusus pasien setelah aku diminta melepas pakaian atasku. Lalu, Anita dan Mrs. M menempelkan beberapa katoda ke pelipis kanan dan kiri, juga dada.
“Bagaimana perasaanmu, Ian?” tanya Anita terdengar parau. Ia periksa kedua mataku dengan lampu senter.
“Baik. Saya merasa baik,” jawabku.
“Tidak apa-apa kalau merasa sedih, kamu tahu itu,” tambah Anita.
“Ya, saya tahu. Tapi sepertinya tidak sekarang,” tanggapku sambil melirik ke Kapten Nemo yang berdiri sambil bersedekap di sisi ruangan dekat pintu, dan Mr, Carver di sampingnya. Mr. Carver tampak termenung.
“Maaf, Mr. Carver, Anda sempat memantau sinyal Babel saat … setelah ledakan nuklir?” tanyaku.
Mr. Carver terperanjat sejenak sebelum menjawab ragu, “Ya, aku sempat memantaunya—out of curiosity—dan memang aneh. Fluktuasinya berkurang setengah—persis setengah. Itu yang hendak saya laporkan, Kapten.”
Kapten Nemo menatapku dan tersenyum. “Nanti kita bicarakan. Sekarang kamu fokus beristirahat.”
“Ya, tidurlah. Perlu stimulan?” sahut Anita sambil menunjukan alat suntik, bermaksud memberiku obat tidur.
“Tidak usah,” jawabku sambil memejamkan mata.
Meski tidak langsung tertidur dan sempat mendengar ada bisik-bisik antara Anita dan Kapten Nemo, aku abaikan semua yang tertangkap indraku. Aku pusatkan perhatian pada kegelapan dibalik kelopak mata. Aku pusatkan benakku pada kekosongan yang … penuh dengan harapan ada kehadiran Maya di sana. Aku memanggil-manggilnya.
Maya! Kamu di mana? May … tolong … jawab aku!
Lalu, meski tidak kentara, nyaris seperti getar halus dari daun yang tertiup angin, aku merasakan sensasi terjatuh—sensasi terjun dalam kegelapan.
“Ian …, bangun! Cepat!”
Aku terperanjat dan membuka mata.
Aku masih terbaring di tempat yang sama. Tapi aku tidak lagi bertelanjang dada, ada piyama pasien yang menutup tubuh atasanku. Katoda yang memantau kepala dan detak jantungku pun telah dilepas. Sepertinya aku telah dinyatakan sehat. Lalu aku hendak beranjak dan seketika aku terkejut karena ternyata aku tidak sedang sendiri.
“Sudah bangun, Ian?”
Kulihat Kapten Nemo duduk di kursi kecil di sudut ruangan, bersandar ke dinding di belakangnya. Ia memakai kacamata baca dan memang tampak sambil bersilang kaki ia sedang membaca.
“Kapten? Berapa lama saya tertidur?”
Kapten Nemo melirik jam di tangan kanannya. “Hampir delapan jam. Bagaimana perasaanmu?”
“Baik, Kapten,” jawabku, meski kemudian aku termenung. Aku merasa tidurku tidak selama itu. Tapi aku tidak ambil pusing, mungkin memang tubuhku perlu istirahat penuh sehingga waktu tidak begitu terasa.
Mendengar jawabanku ia tersenyum.
“Kamu masih mau mencari Maya?”
“Tentu, Kapten. Saya suaminya.”