“Ian, bangun!”
Suara perempuan itu membangunkanku, tapi tidak hanya itu, kurasakan juga semacam guncangan. Aku terjaga dan sadar kalau bis sedang melewati beberapa polisi tidur yang cukup besar. Kulirik keluar jendela dan kujumpai keramaian khas terminal bis. Kami sudah sampai di Bandung.
"Kita sudah sampai," kataku seraya berpaling ke gadis itu. Aku terkejut karena gadis itu tidak ada! Segera aku beranjak dan melihat sekitarku. Tampak kernet bis di pintu belakang. Kuambil tasku dan menghampiri kernet itu.
"Kamu lihat cewek yang sama aku tadi?" tanyaku.
Sesaat dia tampak bingung. "Udah turun. Di perempatan situ," katanya seraya menunjuk satu arah. "Waktu ditanya, katanya nggak kenal Mas, padahal bareng sama Mas, `kan?" jawabnya.
"Ke arah mana dia perginya?"
Dia berpikir sejenak. "Nyeberang jalan ke sana!" Dia menunjuk satu arah.
Akupun segera minta bis berhenti. Setengah berlari aku coba arah yang ditunjukkan kernet itu. Hari sebenarnya masih gelap, tapi ufuk timur yang mulai menyala memberiku arah untuk melangkah.
Benakku sebenarnya sangat bimbang. Haruskah aku mengejar gadis itu? Ataukah sebaiknya kubiarkan saja? Karena bagaimanapun dia yang memilih meninggalkan aku. Mungkin dia merasa telah merepotkan aku terlalu banyak. Atau demi keselamatanku. Bagaimanapun aku tidak tahu. Tapi kemudian kudengar kumandang azan subuh. Kurasa kamu bisa mengerti skala prioritasku, `kan? Aku penuhi panggilan azan itu. Mengenai gadis itu tentu saja aku yakin Allah maha tahu akan keadaannya. Semoga Allah melindungi dan membimbingnya.
Sambil melangkah menghampiri sumber kumandang azan, benakku menganalisa keadaanku. Kamu tahu? Beberapa jam lalu aku kebingungan hendak pergi ke mana, dan sekarang aku sudah ada di Bandung. Memang secara tidak langsung aku memohon petunjuk kemana aku mesti pergi dan sekarang telah diputuskan. Meski apa yang sudah aku alami merupakan cara yang aneh dan ekstrim untuk memberi tahu aku kalau aku mesti ke Bandung. Aku tersenyum sendiri mendapati kesimpulan analisa ini.
Tentu saja selanjutnya adalah mengambil langkah-langkah untuk memulai hidup baru. Satu-dua hal segera terpikir; secara garis besar pilihannya adalah, cari pekerjaan, cari tempat tinggal dan cari sekolah, meski urutannya tidak mesti seperti itu. Sayangnya, aku memikirkan semua itu saat salat subuh. Harus aku akui sulit juga untuk fokus salat jika benak terseret-seret seperti ini. Oh, semoga Allah mengampuni....
Selesai salat subuh aku tidak langsung meninggalkan mesjid. Aku duduk di tangga depan mesjid, juga tidak bersegera mengenakan sepatu. Aku perhatikan langit yang makin lama makin terang. Semburat-semburat jingga mentari yang kian terurai, tidak mengingatkan apa-apa selain kata-kata Ayah yang mengutip Quran, "Dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal."
Kutarik napas panjang. "Jadi apa kamu termasuk orang yang berakal, Ian?" gumamku sangat pelan. Gumamanku itu segera menyulut kenangan semalam dan berusaha mengambil nilai lebih dari sekedar pengalaman aneh dan ekstrim. Tapi ..., aku sulit percaya kalau ini berakhir begitu saja .... Ataukah sebenarnya belum berakhir?
"Dengar, Ian."
Aku terperanjat kuat saking kagetnya saat kudengar suara gadis itu di sampingku!
"ASTAGFIRULLAH!"
Dan memang benar dia di sampingku!
"Sori. Kamu kaget, ya?" Katanya dan tampak tersenyum geli melihat kagetku. Tapi senyumnya tak lama karena kemudian kulihat muram yang diiringi kalimat, "Dengar, Ian. Aku memang salah pergi nggak bilang-bilang. Tapi, sebaiknya kita berpisah. Demi kebaikanmu juga."
"Kamu yakin?"
Kulihat tatapannya berubah ragu dan mendadak matanya berair. "Tidak. Aku tidak yakin. Aku ... aku akui kalau aku butuh teman .... Aku nggak ingin sendirian," katanya seraya berpaling dan merunduk.
"Kalau begitu aku akan tetap menemani kamu," tanggapku.
"Tapi kamu bisa celaka gara-gara aku!" pekiknya tertahan. "Kamu lihat sendiri semalam, `kan? Kamu bisa terbunuh gara-gara aku!"
"Ya, mungkin. Tapi ayahku pernah bilang kalau mati tetaplah mati, bagaimanapun caranya. Dan setiap jiwa pasti merasakan mati." Sejenak aku terdiam. "Ayahku meninggal baru-baru ini. Ibuku sudah lama mendahului. Praktis nggak ada lagi yang bakal sedih kalau aku mati."
"Tapi aku akan sangat merasa bersalah," tanggap gadis itu.
"Dan aku akan merasa bersalah kalau tidak berusaha membantu. Lagipula aku membantu kamu karena aku yakin kalau Allah senang sama orang yang suka menolong sesama. Kalau dalam prosesnya aku mati, sepertinya aku tidak akan menyesal. Atau … kalau dilihat dari sudut pandang lain, sebenarnya kamulah yang membantu aku."
Dia mengerenyit heran. "Membantu kamu?"
"Sebut saja aku dalam proses membangun hidup baru. Dan terus terang aku tidak tahu bagaimana memulainya. Lalu Allah pertemukan aku dengan kamu. Seolah memberitahu aku kalau membantu kamu adalah langkah awal hidup baruku. Tapi bagaimanapun, keputusan ada pada kamu. Kamu mau aku temani atau tidak? Perlu diingat juga, kalau lihat tadi malam, bisa jadi aku malah jadi beban kamu; jadi penghambat. Aku tidak bisa berkelahi seperti kamu."
"Aku juga tidak bisa, tapi ... sepertinya tubuhku bergerak sendiri. Seperti ada yang memberi tahu aku bagaimana aku mesti bergerak."
"Yah, soal itu aku juga penasaran. Aku memang bukan ahli bela diri, tapi kalau lihat semalam, tehnik berkelahi kamu terlalu ... apa, ya? Terlalu berpengalaman… terlalu advance—tapi sudahlah! Sekarang gimana? Mau aku temani? Atau tidak? Itu pertanyaannya."
Dia terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. "No regret," katanya seraya mengepalkan tangannya kepadaku berharap aku juga mengepalkan tanganku dan beradu dengannya.
Aku tersenyum. Tanpa penyesalan, itulah idenya. No regret! Aku memang setuju, tapi sayangnya aku terlalu banyak mendengar kata-kata ayahku.
Penyesalan bukan hal buruk, malah sebaliknya, penyesalan adalah baik karena merupakan trigger bagi sistem pertahanan terhadap pengulangan suatu kesalahan. Gerbang tobat yang sebenarnya.