Hening ….
Yah, sebenarnya tidak bisa dikatakan hening sih. Kudengar suara semilir angin, kicau burung dan sesekali kendaraan yang lewat—hanya sesekali. Tapi, dibandingkan Jakarta yang selalu ditemani suara latar belakang yang ramai, suasana pegunungan ini adalah hening; seolah aku berada di alam yang berbeda. Seperti gadis bernama Maya ini; seolah dia datang dari dunia lain ..., dimensi yang lain.
Kami sedang berjalan menyusuri jalan kecil beraspal yang diapit lahan perkebunan teh yang luas. Indah memang, tapi aku tidak bisa sepenuhnya menikmati pemandangan yang baru pertama kali kulihat, karena sepanjang jalan aku mendengarkan Maya. Meski agak tersendat, dia menceritakan apa yang ada di benaknya; potongan gambar, serpihan citra, slideshow dari kenangan bersama keluarganya berlibur suatu akhir pekan. Hanya saja, aku tidak merasakan adanya ikatan emosi—yah, sebenarnya ada emosi dari cara dia bercerita, tapi satu-satunya emosi yang kurasakan darinya adalah takut. Tidak ada sedih, senang atau terharu; hanya takut. Dia takut seperti sedang menyusuri jalan kecil yang diapit dua jurang. Dia takut terjatuh.
“Lalu kami berhenti di sini,” katanya seraya melangkah ke sebuah lahan kecil di pinggir jalan, di antara dua pohon besar. “Aku ingat, di sana ada seekor burung,” dia menunjuk sebatang pohon di tengah-tengah kebun teh, “aku melihatnya memakai teropong,” dia peragakan seseorang yang sedang menggunakan binokular. “Lalu seseorang memanggilku.” Dia membalikkan badan seolah memang ada yang memanggilnya.
Sejenak dia menarik napas panjang, dan kurasakan getaran dari suara napasnya. “Aku tahu dia ibuku, tapi ..., aku tidak merasakan apa-apa tentangnya. Aku tidak tahu apa aku mesti senang mengenang semua ini, atau tidak. Satu-satunya perasaan yang aku rasakan saat ini hanya ... hanya ....”
“Takut,” sambungku.
Dia menatapku. “Ya ...,” bisiknya lirih. “Aku takut semua ini sebenarnya bukan kenanganku .... Entahlah! Aku merasakan ada semacam bayangan besar yang menghalangiku dari ingatanku ini! Kenangan ini begitu jelas, tapi ... tapi ....”
“Tidak ada ikatan emosi,” sambungku lagi.
“Ya! Tepat seperti itu!” serunya. Lalu kulihat wajahnya berubah, tampak memelas. “Apa artinya semua ini, Ian? Jelas kamu cukup mengerti aku, `kan?” ucapnya lirih, penuh harap, seolah aku memang tahu jawabannya.
Aku menggeleng. “Aku tidak tahu,” jawabku, “tapi kalau dari sudut pandangku, aku merasa diejek oleh kondisi kamu.”
“Diejek?”
“Sebulan yang lalu ayahku meninggal, jauh sebelumnya ibuku sudah meninggal. Aku punya banyak kenangan tentang mereka ..., bahkan mungkin terlalu banyak ..., hingga ketika aku melihat kondisi kamu, aku merasa ... kamu beruntung kehilangan ingatan ....”
Dia menatapku, memiringkan wajahnya sedikit dan tersenyum sedih. “Maaf, ya ...,” ucapnya lirih.
Aku menggeleng. Hanya menggeleng, tak kuasa berkata, "Tidak apa-apa," karena tengorokanku terasa tercekik oleh emosi yang menumpuk cepat.
Lalu dia melanjutkan, “Tapi kalau dilihat dari sisi lain, sepertinya kita dipertemukan memang dengan maksud tertentu, ya?”
Aku mendengus, “Tentu saja! Tidak ada suatu peristiwa terjadi kecuali Allah menyimpan hikmah di dalamnya! Itulah kenapa aku mesti segera pergi—tidak untuk melupakan ayah-ibuku, tapi untuk membangun kenangan baru. Ketika Ibu meninggal, Ayah pernah bilang begini, ‘Bitterness is paralyctic, but Love is the most brutal motivator,’ Aku yakin mereka menyayangiku, dan akan benci kalau aku tenggelam dalam kenangan mereka. Jadi, satu-satunya jalan adalah bergerak, membangun kenangan-kenangan baru, karena akupun menyayangi mereka .... Lalu kita bertemu.