Melihat rumah Maya, terus terang, aku tidak bisa menyingkirkan perasaan kalau kami salah alamat.
“Kamu yakin ini rumah kamu?” tanyaku di depan gerbang pagar rumah yang bagiku mirip istana. Kami berada di sebuah kompleks perumahan yang terbilang mewah dan cenderung sepi. Mungkin bisa dibilang sepi merupakan suasana tipikal perumahan mewah.
“Aku yakin ... tapi entahlah,” jawab Maya seraya memijit bel yang ada di sisi gerbang.
Tidak ada jawaban.
Tidak ada jawaban meski Maya memijitnya berkali-kali.
“Sepertinya tidak ada orang,” komentarku.
Maya buka gerbang pagar itu dan ternyata tidak dikunci.
Aku terperangah dan mendadak takut. “May, tunggu! Apa menurutmu nggak aneh, pagarnya tidak dikunci?”
Maya menatapku dan menimbang-nimbang, “Emang sih, tapi ...,” dia berpaling menatap rumah itu. “Tapi aku ingin tahu apa yang akan aku temukan di dalamnya.” Lalu dia masuki halaman depan rumah itu.
Aku tarik napas sejenak sebelum mengikuti langkah Maya.
Halaman rumah itu tidak luas, tapi tertata rapi dengan jalur mobil dan taman disampingnya. Ada teras kecil dengan undakan tiga anak tangga menuju pintu depan rumah dengan dua daun pintu. Sempat aku melirik ke atas dan melihat lantai dua dari rumah itu yang terdapat dua jendela sudut yang besar. Tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditunjukkan dua jendela itu.
Di teras kulihat Maya sedang mengetuk pintu. Beberapa kali, tapi seperti bel tadi, ketukannya tidak mendapat jawaban. Dia sempat memutar pegangan pintu, tapi dikunci. Dia sempat juga mengintip lewat jendela di samping pintu, lalu dia berbalik menghampiri rak pot bunga yang menjadi batas antara teras dan taman. Melihat kondisi tanaman-tanaman bunga di rak pot itu, sepertinya sudah agak lama tidak ada yang menyiraminya.
Maya jongkok dan merogoh sesuatu dari rak pot bunga itu. Sempat aku hendak bertanya “Ada apa?” tapi segera mendapat jawaban karena dia menunjukan sesuatu yang ia temukan; sebuah kunci. Sempat pula aku hendak bertanya, “Bagaimana kamu bisa tahu ada kunci di situ?” Tapi urung karena aku bisa menduga itu ada hubungannya dengan misteri ingatannya. Atau setidaknya memberitahu kalau rumah ini memang rumahnya.
Ia beranjak dan mencoba membuka pintu dengan kunci itu.
“Klek!” kudengar bunyi itu dua kali saat Maya memutar kunci. Kemudian memutar gagang pintu, dan pintupun terbuka.
Kulihat sebuah ruang tamu yang—yah, menurutku sangat mewah karena rumah kami dulu tidak punya ruang tamu, apalagi sofa dan meja tamu, lemari kaca penuh dengan piala dan suvenir perjalanan luar negeri, atau sempat-sempatnya aku dan ayah-ibuku berfoto untuk dipasang di dinding ruang tamu. Sebelum ini, deskripsi sebuah ruang tamu yang mewah benar-benar diluar imajinasiku.
Maya melangkah masuk. Masuk tanpa melepas sandalnya. Aku sedikit menangkap rasa cemas melihatnya. “Kamu yakin tidak apa-apa?” tanyaku.
Maya menatapku sejenak. “Aku yakin ini rumahku,” jawabnya, lalu ia melanjutkan melangkah.
Aku ikuti langkahnya dan kemudian melihat sebuah foto keluarga berbingkai besar di sisi kiri yang terdiri dari empat orang anggota keluarga, dan kulihat salah satunya adalah Maya.
Jadi ini benar-benar rumahnya.
Lalu aku mendapatkan semacam perasaan kalau masa-masa aku menolong gadis ini telah berakhir. Alhamdulillah ....