Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #9

Penjelasan Singkat

“Bagaimana menurutmu, Ian?”

Pertanyaan itu cukup sering Ayah utarakan kepadaku setiap kami mendapatkan pelanggan baru di bengkel kami. Menurut Ayah, aku punya penilaian yang baik terhadap karakter orang. Aku sendiri tidak tahu apakah Ayah memang benar-benar meminta pendapatku, atau hanya memancing keluar apa yang ada dalam benakku; sedikit mengikis sifat introvert-ku. Entahlah, tapi rasanya menyenangkan kalau orang yang aku hormati mendengarkan pendapatku. Mungkin itulah mengapa ketika Maya mengatakan pertanyaan yang sama, ada kenangan lama yang terbangun dan mengusik luka batin yang sebenarnya ingin dikubur dalam-dalam.

Kenangan itu memang lucu, bukan? Selalu ingat apa yang sebenarnya ingin dilupakan, dan selalu lupa bagian yang sebenarnya ingin diingat. Ah, sudahlah.

“Bagaimana menurutmu, Ian?”

Pertanyaan itu Maya utarakan setelah mobil mendadak memasuki pelataran parkir sebuah mini market dan perempuan itu keluar mobil dengan perkataan, “Tunggu di sini. Jangan ke mana-mana!”

Mataku mengikuti punggung perempuan itu hingga ia memasuki pintu mini market. Dia memiliki postur yang langsing, malah cenderung kurus, dengan tinggi yang sepertinya lebih tinggi dari aku. Dia mengenakan kemeja flannel biru muda yang longgar (mungkin untuk menyembunyikan sepucuk senjata? Entahlah), celana jeans yang ketat, sepatu kets warna putih dan rambutnya yang bercorak pirang diikat ekor kuda. Tidak ada yang salah dari apa yang kulihat itu, tapi mengingat sosok itu juga yang berada di jendela atas rumah tetangga Maya sambil memegang sepucuk pistol dan menembak mati ninja sial itu, rasanya … ada bagian dari benakku yang sulit menerimanya.

“Apa dia bisa dipercaya?” sambung Maya.

Aku menarik napas panjang. “Waktu Ayah-Ibuku meninggal, aku sempat kenal beberapa dokter. Dan setiap mereka berkenalan, aku perhatikan mereka selalu memakai gelar dokternya.  Dokter Herlina, Dokter Stevanus…. Tapi, dia….”

“’Aku Anita. Dokter yang mengoperasi kamu,’” Maya mengulang kalimat perkenalan perempuan itu.

“Dan dia menembak mati seseorang,” sambung aku.

“Jadi, menurutmu dia bukan dokter?”

Aku mengangkat bahu. “Entahlah. Dia bilang mengoperasi kamu. Bukan mengobati luka kamu, atau menangani kamu, tapi spesifik mengoperasi kamu. Mungkin dia memang punya kemampuan sebagai dokter, tapi tidak selalu menjadi dokter—maksudku, dokter itu semacam penyamaran, mungkin.”

“Ma-maksudmu, dia seorang agen mata-mata?”

Aku mendengkus pelan karena terus terang ide yang muncul sekarang rasanya terlalu jauh dan terlalu “fiksi”. Aku menggeleng dan berkata, “Itu mungkin agak terlalu jauh—Maksudku, waktu kamu bilang, ‘Kamu kan yang operasi aku!’ Dia sepertinya kesulitan menyembunyikan perasaan menyesal.”

“Menyesal?”

“Aku rasa ada elemen keterpaksaan dia mengopreasi kamu. Mungkin terpaksa untuk menyelamatkan kamu, atau terpaksa untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Entahlah. Tapi, aku rasa dia orang yang baik. Kita bisa memercayainya … meski nggak sepenuhnya …. Kita dengarkan saja dulu apa yang mau dia jelaskan.”

Kulihat perempuan itu keluar dari mini market sambil menjinjing tas plastik yang sepertinya berisi beberapa botol air mineral dan beberapa bungkus yang aku bisa kira sebagai makanan.

Saat dia memasuki mobil, aku langsung berkata, “Maaf, boleh kami pergi dulu untuk salat Asar?”

Dia terdiam sejenak. Berpikir. Menimbang-nimbang. “Kita ke Mesjid Raya,” tandasnya tanpa kompromi. Tak lama kemudian mobil kembali melaju.

“Makan ini,” kata perempuan itu sambil menyerahkan tas plastik dari mini market itu kepada Maya. “Kamu perlu energi lebih banyak.”

Maya menerimanya, dan sempat Maya menawari aku semacam batangan coklat kaya protein, tapi aku menolaknya. Kulihat Maya makan, tapi sepertinya dia tidak menikmatinya; cepat dan sistematis saat melahap dan mengunyah, tampak jelas hanya memberi pasokan nutrisi pada tubuhnya. Yah, mengingat bagaimana dia berkelahi dengan ninja tadi, dia pasti kehilangan banyak tenaga.

Aku berpaling dan memperhatikan jalan.

Setelah mobil melewati satu perempatan dan satu belokan, aku langsung bisa melihat dua menara masjid yang menjulang tinggi. Aku berasumsi menara itu menara Mesjid Raya Bandung, dan memang benar. Untuk mencapainya, kami mesti melalui jalan yang padat yang diapit barisan pertokoan.

Lewat lima belas menit kami masuki basement masjid itu. Perempuan itu parkirkan mobil tidak terlalu jauh dari pintu keluar.

“Aku tunggu di sini,” kata perempuan itu setelah mematikan mesin.

Aku langsung keluar mobil, begitu pula Maya. Aku cari petunjuk arah menuju masjid dan berjalan setelah menemukannya. Maya mengikuti langkahku.

“Ian, dengarkan aku,” pinta Maya lirih, “apapun yang terjadi, apapun yang dikatakan Anita itu, kamu bisa kan menemaniku lebih lama lagi?”

“Tentu. Aku tidak terburu-buru. Jadwalku sangat longgar,” jawabku dengan niat dan intonasi bercanda yang sangat kentara.  

Dan dia menangkap sinyal bercandaku karena dia langsung mendorong bahuku dan tertawa. Akupun ikut tertawa.

Tawa ….

Kamu tahu, kan, kalau tawa itu salah satu cara pelampiasan beban emosi? Emotional relief, Ayah bilang. Dan aku sadar kalau saat itu kami butuh tertawa mengingat apa yang telah kami lalui. Yah, harus aku akui, sampai sekarang pun aku masih bisa bergidik mengingat satu jam sebelumnya kami begitu dekat dengan ancaman kematian.

Tertawa dihadapan wajah Sang Maut.

Kalimat yang berani, bukan? Atau sebenarnya sebuah sikap yang sebenarnya menunjukan betapa besarnya ketakutan kita—atau lebih tepatnya, betapa bebalnya kita terhadap ketakutan kita sendiri. Berpaling dari rasa takut. Denial….

Lihat selengkapnya