Jakarta adalah kota pantai, tapi sepanjang hidupku tinggal di kota itu, aku belum pernah melihat secara langsung apa itu laut. Ke Ancol pun belum pernah. Duniaku berputar antara rumah, sekolah dan bengkel Ayah. Kalaupun keluar dari orbit itu, paling-paling Ragunan—atau Kwitang, cari buku bekas. Dunia di luar sana hanya gambaran imajinasi yang terbentuk oleh serpihan-serpihan informasi dari TV, buku, suratkabar atau obrolan orang—sesekali internet. Mungkin kenyataan itu yang membuatku sekalinya bertemu laut, mataku sulit lepas dari cakrawala; garis panjang membentang dari sudut mata ke sudut mata lain yang mempersatukan laut dan langit. Aku melihatnya ketika kami berada di geladak kapal feri, hendak menyeberangi Selat Sunda.
“Ian, kamu mendengarkan?” Kudengar Maya bertanya.
Seketika aku berpaling dari pesona cakrawala dan merespon, “Ya, tapi masih kesulitan memprosesnya.”
Anita sedang menjelaskan rencananya menyelundupkan diri ke Singapura. Dia punya kontak di sana yang bisa memberi Maya identitas baru yang sedikit-banyak bisa menyembunyikan Maya. Sebenarnya, yang seharusnya bertanya—atau lebih tepatnya menuntut aku mendengarkan adalah Anita, bukan Maya. Tapi, aku bisa mengerti kalau Anita tidak terlalu peduli aku mendengarkan atau tidak, karena bagaimanapun dia lebih berharap aku tidak perlu ikut. Aku bisa mengerti, tapi aku juga tidak bisa mangkir dari Maya. Dan entah kenapa, aku merasa akan ada saatnya Maya sadar kalau aku hanya menjadi beban atau bahkan sumber penyesalan. Dan ketika saat itu tiba, maka kami mesti berpisah. Yah, kita lihat saja nanti....
Kami dalam perjalanan menuju Pekan Baru, Riau. Sejauh ini Anita telah menjelaskan banyak hal tentang latar belakang semua kejadian ini. Memang banyak yang tidak aku mengerti, tapi banyak pula yang bisa aku tangkap sebagai gambaran besarnya—meski tentu saja aku tidak perlu sepenuhnya percaya. Seperti halnya sosok Anita ini; dia mengaku berkebangsaan Amerika yang lahir di Jakarta, tapi saat ini dia menyamar sebagai Warga Negara Indonesia dan bekerja sebagai dokter. Katanya, dia sempat tumbuh besar di Indonesia, hanya saja, kecerdasaannya memaksa dirinya ke Amerika supaya bisa cepat melompat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi. Lepas mendapatkan gelar Medical Doctor spesialisasi bedah saraf, dia bekerja di sebuah perusahaan swasta yang memiliki kontrak dengan militer Amerika untuk meningkatkan daya tempur prajurit mereka. Katanya, dia bersama rekan-rekannya berhasil membuat semacam implant—semacam chip yang bisa ditanam di otak yang memberi informasi baru tentang bela diri, persenjataan, cara bertahan hidup dan banyak lagi. Tapi katanya, yang paling penting adalah manipulasi hormon yang mendukung mental prajurit untuk mengeksekusi informasi-informasi tersebut. Apa aku mesti mempercayai semua itu?
“Lalu apa yang membuatmu membelot?” tanyaku. Lalu kulihat ada perubahan dari cara dia bercerita. Sebelumnya aku bisa merasakan kebanggaan dari cara dia bercerita, tapi kemudian kulihat ada marah, kecewa dan sedih dari sorot matanya. Sorot mata seseorang yang merasa dikhianati.
Katanya, setelah dia melalui operasi implantasi teknologi itu—juga membuat kagum beberapa jendral, ada semacam entiti yang memberitahu dia kalau perusahaan tempatnya bekerja menyalahgunakan teknologi tersebut.
“Entiti?”
“Untuk sementara aku menyebutnya itu,” jawab Anita, “Aku belum pernah bertemu dengannya. Hanya pesan teks, Email dan ... Pernah, ketika aku kembali ke meja di labku setelah makan siang, sebuah folder tergeletak yang isinya foto-foto penculikan orang sipil dan operasi implantation chip itu yang jauh dari standar major operation seharusnya.”
“Darimana kamu tahu klaim ‘entiti’ ini benar?” tanyaku.
Dia mendengkus sambil memutar mata seolah pertanyaanku benar-benar bodoh, tapi dia menjawab juga. “Karena dia juga menyertakan banyak data yang memancing aku menyelidikinya sendiri. Lalu di sinilah aku bersama bagian puzzle terbesar mereka yang aku curi.” Ia katakan bagian akhir perkatannya sambil menatap Maya.
“Dan mereka menginginkannya kembali,” gumamku.
“Tentu saja! Itu alasan logis Maya diburu, `kan?” tandas Anita.
“Mereka menyalahgunakan bagaimana?” tanya Maya.
“Kamu ingat dua orang yang menyerang kamu di rumah kamu tempo hari? Mereka adalah hasil dari Proyek Zombie.”
“Zombi?” ucapku dan Maya bersamaan.
“Mereka bisa ambil siapa saja, tanam chip lalu jadi pasukan zombie pribadi.”
Aku berpaling menatap Maya dan kulihat dia terpekur. Sepertiku, Mayapun sepertinya menyadari skala bahaya dan ancaman dari masalah yang kami hadapi ini.
Saat Anita menjelaskan ini, kami sedang berada di sebuah restoran cepat saji di sebuah rest area jalan tol menuju Jakarta. Restoran ini cenderung sepi sehingga kami cukup leluasa membicarakan ini.
“Tapi ada yang aneh?” gumamku.
“Apanya yang aneh?” tanya Maya, sementara Anita hanya menatap heran.
“Sejauh ini kamu masih menyamar, `kan?” ucapku seraya menatap Anita. “Bisa dibilang masih tersembunyi. Tapi dari mana mereka tahu kamu mengoperasi Maya?”
“Tepat sekali!” seru Anita. “That’s very perceptive of you! Itulah kenapa aku merasa ada pemain lain yang memburu kita,” jawab Anita. “Bahkan aku tidak tahu sejak kapan posisiku telah compromised.”
Sempat aku sumeringah dipuji seperti itu, tapi segera aku singkirkan karena benakku mengingat sesuatu.
“May, kamu ingat laki-laki yang menyerang kita di ruang tamu rumah kamu itu bilang seperti ini, ‘Jadi ini yang namanya Maya. Aku tidak melihat ancaman apapun dari kamu.’ Kamu ingat, `kan?”