Flight of Birds

DMRamdhan
Chapter #12

Nemo

Kamu tahu? Sun Tzu pernah menulis kira-kira seperti ini, “Merupakan sebuah kebodohan ketika terburu-buru dalam berperang, tapi pintar tidak pernah dihubungkan dengan berlambat-lambat.” Kalau diperhatikan, kalimat itu berarti elemen penting dari sesuatu yang “pintar” adalah ketepatan, ya, kan? Presisi! Tidak lambat, tidak juga cepat, tapi tepat!

Atau mungkin kata-kata ayahku ini lebih tepat, “Pintar bukan berarti kamu tahu segalanya, Ian. Mustahil kamu tahu segalanya! Tapi kamu bisa dikatakan pintar ketika tahu sesuatu yang tepat di saat yang tepat, ya, `kan? Jadi langkah yang tepat sekarang adalah cari tahu banyak-banyak, siapa tahu pada saatnya yang tepat, kamu sudah tahu.” Mungkin kata-kata Ayah itu yang membuatku banyak baca; bersikap seperti spons terhadap informasi. Tapi kamu tahu? Semakin kita tahu, ternyata semakin sadar banyak yang kita tidak tahu. Semakin kita berusaha menjadi “pintar”, semakin tahu betapa “bodoh” diri kita ….

Coba saja perhatikan Maya. Dia yang awalnya berusaha mencari tahu jatidirinya, kemudian malah lari dan sembunyi dari “sesuatu” yang tidak utuh selain apa yang dideskripsikan Anita. Bahkan, kerangka berpikir Anita pun dibentuk oleh entiti gaib yang menamai dirinya Babel. Lalu, apa yang kita tahu sebenarnya? Apa sebenarnya kita lari dari ketakutan kita sendiri?

Aku sendiri, aku tahu kalau aku hanya bocah acak yang berpapasan dengan seorang gadis acak yang ternyata dalam kesulitan, lalu aku berusaha membantunya. Tapi kemudian si gadis itu ternyata seorang putri dari kerajaan yang tertaklukan dan lari dari penjajahnya. Dan putri ini ternyata dibawah lindungan seorang ksatria perempuan bernama Anita. Alih-alih, bocah acak yang berusaha membantunya ini berubah menjadi penonton—menjadi pembaca dari kisah petualangan mereka.

Aku tarik napas panjang dan menghembuskannya kuat-kuat.

“Ada apa, Ian?” tanya Maya terdengar cemas.

Saat ini kami sedang berada di dalam bis yang melintasi jalan lintas Sumatera. Aku duduk di dekat jendela sementara Maya duduk di sampingku. Dia menatapku dalam-dalam.

Aku tersenyum. “Cuma berpikir betapa banyak yang tidak kita mengerti, tapi kemudian aku jadi ingat pernah baca kutipan seseorang—Vladimir Nabokov kalau nggak salah, ‘Life is a great surpise, I don’t see why death should not be an even greater one.’ Kita tidak tahu kejutan apa lagi di depan kita—tentu saja aku berharap kejutan yang baik, tapi apapun yang terjadi Allah tidak akan mengijinkannya terjadi kecuali pasti ada alasannya”

Insight yang menarik,” komentar Anita di kursi di depan kami; terhalang oleh sandaran kursi bis sehingga aku tidak bisa melihatnya saat dia mengatakan ini. “Kamu yakin Allah itu ada?”

Aku tersenyum kecut. Kecut karena aku ingat Ayah pernah mempersiapkan aku untuk menghadapi pertanyaan seperti itu.

“Nggak sih,” jawabku. “Tapi kalau aku mesti memilih antara ada dan tiada, aku memilih ada. Soalnya, kalau aku memilih tidak ada, tapi ternyata ada, aku nggak mau ada di dalam daftar yang dibenciNya.”

“Kalau ternyata tidak ada, benar-benar buang waktu percaya sama sesuatu yang tidak ada,” tukas Anita.

Aku mendengus. “Huh, coba lihat siapa yang berbicara. Dan kamu punya kendali sama waktu kamu sendiri selain untuk lari dan sembunyi.” 

Aku tahu apa yang aku katakan itu akan memancing kemarahan Anita, dan memang itu yang diharapkan dari skenario ini—skenario yang dirancang ayahku. Maka aku cukup siap saat Anita bangkit dan membalikan badan sambil mengacungkan telunjuknya kepadaku sambil berkata, “Shut your mouth! Kamu tidak tahu apa yang sudah aku lalui!” 

Dan seperti rancangan Ayah, aku akan menjawab, “Tepat sekali! Aku tidak tahu, dan kamu juga tidak tahu apa yang telah aku lalui! Kita punya latar belakang berbeda, setidaknya itu kita setuju.” Tapi tidak jadi, karena aku melihat perhatian Anita mendadak berubah. Sorot matanya beralih melampauiku seolah yang berada di belakangku jauh lebih menarik perhatiannya.

Aku berpaling mengikuti arah tatapan Anita. Kulihat laki-laki Arab itu, duduk di kursi paling belakang. Dan kulihat laki-laki Arab itu tersenyum, seolah senang melihat perhatian Anita tertuju kepadanya.

Anita beranjak dan menghampirinya. "Kalian tunggu di sini," bisiknya datar dan tegas.

Maya juga memperhatikan dan kami lihat Anita berbicara kepada pria Arab itu. Tidak lama, tapi di akhir pembicaraan mereka sepertinya mereka saling mengangguk. Seolah sepakat pada sesuatu.

Lihat selengkapnya