Mungkin tidak seharusnya aku jual rumah Ayah. Mungkin aku seharusnya tidak usah memulai hidup baru. Mungkin seharusnya aku terima saja hidup yang ada dan bergulir dengannya. Memang menyakitkan tenggelam dalam kenangan rumah itu …, kenangan Ayah dan Ibu …, tapi setidaknya aku punya pijakan yang jelas! Masih ada tetangga yang mengenal aku dan sedikit-banyak peduli terhadapku. Juga, aku masih punya teman-teman sekelas …. Ya, mungkin sebaiknya aku kembali …. Apa ini hikmahnya, Ya Allah?
Pikiran itu menggelembung dalam benakku ketika aku meringkuk di kursi bis menuju Jakarta. Harus aku akui ide itu benar-benar masuk akal dan seolah seluruh jiwa ragaku menerimanya—siap merengkuhnya!
Memang aku tidak bisa membeli lagi rumah itu, tapi mungkin aku bisa kost di tempat kost-nya Bu Benny, lalu aku bicara dengan Pak Anwar, walikelasku …. Ya, itu bisa dilakukan ….
Aku tersenyum dengan ide itu, seolah aku tengah memasuki ranah yang aku kenal, ranah yang familiar. Seolah aku bisa merasakan kepastian arah hidupku. Seolah aku sedang melangkah pulang ….
Hanya saja, mendadak senyumku hilang! Gelembung ide yang membesar itu pecah oleh rasa bersalah ketika wajah Maya hinggap di benakku!
Tidak seperti aku, Maya tidak bisa kembali ke kehidupan lamanya. Hidupnya dirampas! Yang seharusnya bisa bersekolah, dia malah berjuang untuk tetap hidup ….
“Ian …, hentikan!”
Kudengar suara perempuan dalam benakku.
Aku makin meringkuk. Berusaha mengosongkan pikiranku, meski sia-sia.
Hentikan apa? Berhenti memikirkan Maya? Atau berhenti memikirkan kembali ke kehidupan lamaku? Hentikan apa?
Wajah Maya terasa jelas dalam benakku. Aku bisa mengenang senyumnya begitu jelas. Harus aku akui kalau aku bisa menganggapnya begitu cantik. Begitu manis….
Oh, jadi kamu suka dia, Ian?
Ya, aku mengakuinya. Aku memang menyukainya. Wajar, aku rasa. Aku belum pernah sedekat itu dengan seorang gadis. Hanya saja, suka atau tidak, Maya sudah menjauh. Tanganku tidak akan bisa meraihnya lagi.