Lorong itu masih sama. Kotor dan kumuh, dan aku tahu lorong itu bisa mengantarku ke sebuah gang yang diapit deretan rumah. Dan salah satu rumah itu adalah gudang kenangan hidupku sejauh yang aku ingat. Sungguh, ada rasa ragu untuk memasuki lorong itu—atau lebih tepatnya takut. Takut terhadap sesak dan sakit menghadapi luapan kenangan, atau—lebih parah lagi—takut akan harapan untuk kembali yang ternyata tertolak. Atau mungkin lebih dari sekedar perasaan takut?
Aku berpaling ke kiri seolah tidak sudi melihat lorong itu lagi. Aku merunut jejak yang baru saja kutinggalkan dan tahu pasti di malam yang tak terlalu jauh sebelumnya aku juga menapaki jejak yang sama meski ke arah yang berbeda. Dan di antara rentang dua jejak itu ada Maya dan rangkaian peristiwa yang alih-alih membawaku pada hidup baru tapi malah … membawaku kembali meski memberi sudut pandang baru. Mungkin memang benar aku tidak sudi memasuki lorong itu. Aku tidak sudi karena aku tidak sudi melupakan Maya, berikut nasib yang mengikutinya. Tidak sudi menjadikan pengalaman bersama Maya hanya sekelumit episode yang kemudian tenggelam oleh pengalaman-pengalaman selanjutnya di sisa usiaku, yang kemudian kehilangan arti dan terlupakan.
Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak bisa mengejar Maya! Dia sudah tidak membutuhkan aku lagi!
Oh Allah, apa yang harus hamba lakukan?
Tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku.
“Ian?”
Aku berpaling dan kulihat sebuah mobil telah menepi di pinggir jalan. Kulihat seorang perempuan berkerudung di balik kemudi mobil itu. Aku mengenalinya sebagai salah satu guru di sekolahku. Namanya Siti Khoirunnisa, guru Bahasa Inggris. Aku berasumsi beliau sedang dalam perjalanan ke sekolah.
Melihat beliau seketika ada hasrat untuk berpaling dan lari, tapi perasaan kebas dan kosong menahanku dan hanya bisa menatapnya tanpa tahu harus berkata apa.
Kulihat beliau keluar dari mobilnya, menghampiriku, dan menarik lenganku. Ia buka pintu mobil lainnya dan menyalak, “Masuk!” Dan akupun menurut tanpa melawan. Aku berasumsi beliau akan membawaku ke sekolah.
“Kemana saja kamu?” tanya Bu Siti setelah kembali ke balik kemudi dan menjalankan mobilnya. “Pak Anwar setengah mati cari-cari kamu?”
Dengan suara yang agak parau aku menjawab, “Saya … sedang mencari sisa keluarga saya …. Tapi sepertinya mereka punya beban mereka masing-masing.” Tentu saja itu bohong.
“Kami akan bantu, Ian,” ucapnya iba, “Kamu masih bagian dari amanah kami.”
Yang beliau maksud dengan “kami” tentu saja pihak sekolah. Aku akan menjadi salah satu item dalam rapat mereka, para guru dan walikelas, yang akan dicarikan solusinya.
“Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara,” begitu bunyi salah satu pasal Undang-Undang Dasar 1945, konstitusi republik kita tercinta. Jadi, apakah aku sekarang seorang anak yang terlantar? Bagaimana dengan Maya?