Dia yang serupa ayahku tersenyum makin lebar. “Tentu saja bukan,” ucapnya. Dia melangkah mendekatiku dan seiring langkahnya, wujud rumahku seolah terurai, memudar menjadi latar putih terang yang agak menyilaukan. “Jadi yang kau lihat ini ayahmu? Bukannya aku bisa melihat proyeksi dari pikiranmu ini, tapi apa yang kau katakan memberiku informasi, ya,` kan? Bahkan aku sendiri tidak tahu bahasa apa yang aku katakan ini, tapi tetap saja sinyalnya sama.”
“Siapa kau?”
“Namaku Tom Horowitz.”
“T-Tom …,” gumamku yang jelas sekali menunjukan kalau aku pernah mendengar nama itu.
“Ah, sepertinya kamu pernah dengar namaku …. Entah bagaimana, tapi itu tidak penting.”
“O’ya! Lalu apa yang penting?” salakku.
“Maya, mungkin,” ucapnya sambil mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Tapi sepertinya itu juga tidak penting lagi sekarang.” Tiba-tiba, entah darimana, tangan tiruan ayahku itu telah menggenggam sepucuk pistol. Dia arahkan laras pistol itu ke kepalanya sendiri dan…
DOR!
Napasku seketika tersekat di tenggorokan! Mataku terbelalak melihat sosok yang serupa dengan Ayah itu terpuruk bersimbah darah. Aku menatapnya tanpa kuasa berpaling, meski hati menjerit tidak ingin melihat.
“Ini tidak nyata!” pekikku kencang.
“Ian!”
Kudengar tiba-tiba suara seorang perempuan memanggil. Dan akupun berpaling. Kulihat Maya terikat di sebuah kursi dengan wajah penuh lebam dan luka.
“Ian … tolong ….”
Kutatap sosok Maya itu, namun benakku yakin kalau itu tidak nyata.
“Ya, Ian. Tolong dia.”
Aku berpaling dan melihat mayat yang serupa dengan Ayah itu telah bangkit. Kepalanya masih berlubang dan bersimbah darah. Dia masih menggenggam sepucuk pistol dan dia berjalan menghampiri Maya.
“Entah bagaimana kamu bisa bersama Maya. Tentunya niat kamu awalnya menolong dia, bukan? Sekarang kamu mau menolongnya?”
Dia kini telah berdiri di samping Maya. Dia angkat pistolnya dan menempatkan larasnya di kepala Maya.
Sungguh aku ingin berpaling! Sungguh aku ingin menutup mata! Tapi aku tidak bisa! Aku dipaksa menyaksikan dia menarik pelatuk dan—
Satu kali lagi ledakan dari laras pistol itu menggema, lalu Maya terkulai lemah, masih terikat di kursinya. Bersimbah darah.
“Kamu tahu ini tidak nyata, bukan?” kata dia yang serupa dengan Ayah.
Kutatap dia, dan kulihat kepalanya tidak lagi berlubang. Tidak lagi bersimbah darah.
“Jadi …, kira-kira di mana Maya?”
“Apa itu penting sekarang?” geramku.
“Tidak juga. Hanya penasaran. Yang pasti kamu sudah tidak bersama dengannya lagi. Apa dia bilang mau kemana, atau apa rencananya?”
“Dia sudah tenggelam,” jawabku tegas. “Kau sudah puas? Kau tak perlu memburunya lagi!”
“Tenggelam?”
“YA, DIA SUDAH TENGGELAM!”
Kulihat dia terperkur, berpikir, dan kemudian dia bergumam pada dirinya sendiri yang membuatku cukup terkejut.
“Tenggelam …, ke kedalaman samudera …. Nautilus? … Kapten Nemo? … Chris… Carver? Dia masih hidup?”
Dia terbelalak menatapku. Akupun demikian, tapi pasti dengan alasan yang berbeda.