Flora Adora

Anisa Ratna kania
Chapter #2

Part 1

Hujan baru saja reda ketika senja perlahan turun di langit barat. Seorang gadis muda berjalan sendirian melewati jalan setapak yang sunyi di dalam hutan. Suaranya tertahan di tenggorokan, langkahnya ragu-ragu, seolah setiap semak dan pohon yang menjulang bisa saja menyembunyikan sesuatu yang menakutkan.

Namanya Elira. Rambut hitam panjangnya yang agak kusut menempel di pipi karena sisa embun. Ia bukan tipe gadis yang suka berpetualang jauh, namun hari itu, ia memutuskan meninggalkan rumahnya di tepi desa.

Alasannya sederhana: ia lelah dengan pertengkaran orang tuanya. Sejak kecil, Elira hidup dengan keluarga kaya raya yang dingin, seakan segala sesuatu bisa diselesaikan dengan uang. Namun kasih sayang—hal yang ia dambakan—jarang sekali hadir. Maka, sore itu, ia keluar tanpa tujuan pasti, hanya ingin menjauh dari hiruk pikuk rumah besar yang tak pernah membuatnya merasa seperti rumah.

Semakin lama ia berjalan, semakin jauh hutan itu menelannya. Jalan setapak mulai hilang, berganti dengan tanah basah dan dedaunan yang berlapis-lapis. Ketika Elira sadar bahwa ia sudah benar-benar tersesat, malam hampir turun. Jantungnya berdebar keras, matanya menatap sekitar mencari cahaya, rumah penduduk, atau apapun yang bisa menuntunnya keluar.

Namun, justru sesuatu yang tidak ia duga yang ia temukan.

Di balik pepohonan rapat, tampak cahaya keemasan memancar, seakan rembulan bersembunyi di sana. Elira menyingkirkan ranting-ranting, melangkah maju, dan tiba-tiba napasnya tercekat.

Sebuah istana megah berdiri di tengah hutan. Pintu gerbang tinggi menjulang, dindingnya putih berkilau diterpa cahaya lampu-lampu kristal. Jendela-jendela besar menyala terang, bagaikan bintang yang turun ke bumi. Elira mengucek matanya berkali-kali, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana mungkin ada bangunan seindah ini, di tengah hutan yang selama ini dikenal angker?

Kakinya bergerak sendiri. Ia mendekat, melewati gerbang yang entah mengapa terbuka begitu saja. Begitu ia melangkah ke halaman, sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.

Pintu istana terbuka lebar. Dari dalam, para pelayan berpakaian rapi keluar menyambutnya. Ada yang membawa obor, ada yang menunduk memberi hormat. Seorang kepala pelayan yang berusia sekitar lima puluh tahun berjalan paling depan.

“Selamat datang, Nona,” ucapnya sambil menunduk dalam. “Kami sudah menantikan kedatangan Anda.”

Elira terbelalak. “Aku? Menantikan… kedatanganku? Tapi aku hanya—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, dua pelayan wanita menggamit tangannya lembut. Mereka tersenyum ramah, seakan Elira adalah tamu kehormatan.

“Silakan masuk, Nona. Tuan kami telah menyiapkan segalanya untuk Anda.”

Elira ingin bertanya siapa tuan mereka, mengapa dirinya disambut seperti ini, tapi tubuhnya terlalu lelah untuk melawan. Ia membiarkan dirinya dibawa masuk.

Begitu pintu istana tertutup, Elira hampir tidak bisa bernapas. Interiornya lebih menakjubkan daripada yang ia bayangkan. Lantai marmer putih berkilau, langit-langit menjulang tinggi dengan lampu gantung kristal raksasa yang berkilauan. Aroma harum mawar segar memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang yang baru keluar dari oven.

Di ruang makan panjang, meja sudah dipenuhi makanan mewah: daging panggang berlapis saus, sup hangat dengan aroma rempah, buah-buahan segar, dan kue-kue manis beraneka warna. Pelayan-pelayan bergerak cekatan, menuang anggur, menyiapkan piring.

“Apa… semua ini untukku?” tanya Elira lirih.

Lihat selengkapnya