“Flower are never just flowers. Whatever mood or sentiment we can imagine, we can find a flower to articulate it. Flowers have killed world leaders and stop the wars. They are symbols of eternity and immortality. The recalled time and again as indelible memories.”
֎
Apa yang engkau pikirkan tentang bunga-bunga? Sebuah tanda cinta dan kasih sayang? Atau metafora bersayap dalam syair para pujangga? Apa pun bentuknya, bunga selalu memiliki ruang tersendiri bagi penduduk dunia. Keindahan, kecantikan, dan keanggunannya seperti magnet yang menyentuh sisi-sisi lembut dari jiwa manusia. Di satu sisi, bunga menjadi simbol universal untuk menyatakan cinta dan kasih sayang. Di sisi lain, bunga dijadikan sebagai simbol perdamaian dan perlawanan. Di luar itu, ada pula banyak idiom yang meminjam bunga-bunga, mulai dari bunga bangsa, bunga tidur, bunga desa, bunga tanah, bahkan bunga bank.
Lalu, bagaimana dengan sebuah negeri yang menggantungkan hidupnya pada bunga-bunga?
Mari kukisahkan padamu sebuah hikayat dari negeri yang jauh. Florena, negeri seribu bunga. Sebuah daratan terbentang yang dihiasi oleh beragam sekar yang terhampar. Negeri flamboyan yang terkenal lewat warna dan aroma. Sebuah negeri yang diyakini penuh oleh keindahan, kehangatan, dan cinta.
Bagi rakyat Florena, bunga bukanlah sekadar, cuma, hanya, masih, meski, dan tapi. Bunga tak lain adalah bagian dari siklus kehidupan itu sendiri. Dalam setiap prosesi sakral, selalu ada tangkai-tangkai bunga yang diikutsertakan, mulai dari tradisi kelahiran bayi mungil di dunia, pesta pertambahan usia, upacara kelulusan meraih gelar dan pangkat, persatuan kedua insan dalam mahligai pernikahan, bahkan prosesi bersatunya manusia dengan tanah. Warga negeri ini tak bisa melepaskan diri dari bunga-bunga. Di sini, bunga dihargai bagai sebuah mahkota. Bagaikan jantung yang terus memompa darah dan berdenyut. Laksana oksigen yang terus membuat negeri ini tetap hidup.