Flower Harvest in Florena

Neofelis
Chapter #3

Memeluk Sepi

PLAK!

"Apa yang kau lakukan, hah?!"

Mandor benar-benar marah. Felice mendongak dan memegangi pipinya yang meradang. Ia meringis. Tamparan beberapa hari lalu masih meninggalkan bekas. Namun hari ini sebuah tangan lain kembali mendarat di tempat yang sama. Darah kini mengalir dari mulutnya. Bahkan sudut bibirnya ikut terluka.

Air mata dan darah kini menyatu. Rasa asin dan anyir berpadu menjadi satu.

"Lihat! Bunga itu hancur gara-gara kamu!"

Felice menoleh. Kini hanya ada kelopak kecil hortensia yang tersebar. Angin menghampirinya dan memecahnya hingga tercerai-berai.

"Heh! Bunga itu jauh lebih berharga dari nyawamu, Merces!!"

Satu telunjuk dilayangkan ke depan wajah gadis kecil malang itu, lalu mendorong dahi lebarnya dengan keras.

"Maaf, Nyonya..."

Hanya itu yang bisa ia katakan. Perkebunan bunga tak jauh bedanya dengan hutan belantara. Di sini hanya ada manusia yang memangsa manusia lainnya. Sebuah hukum rimba berlaku. Homo homini lupus.

Dari sudut matanya, Felice mengerling ke arah rombongan buruh asal Florena yang tertawa. Pria gempal yang menyikutnya menyeringai sambil menaikkan sebelah alis. Gadis kecil berumur dua belas tahun itu tak tahu apa salahnya. Namun kehadirannya, air mata, dan kesengsaraannya seperti hiburan tersendiri bagi orang-orang yang menontonnya.

Felice menunduk. Ia sesengukan. Ia tak paham apa yang terjadi. Tapi perlakuan yang ia terima selama dua tahun terakhir membuatnya merasa kecil dan kerdil. Orang-orang memandangnya seperti anak kurcaci. Ia tak lebih dari keset yang diinjak-injak sesuka hati.

Mandor mendengus kesal. Lalu mengedarkan pandangan.

"APA YANG KALIAN TONTON, HAH?!"

Buruh lain langsung mengalihkan wajah. Mereka kembali bergerak dalam barisan panjang dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Felice yang malang hanya mampu terisak tanpa suara. Sekeras mungkin ia mencoba untuk menahan air mata.

Sepanjang hari itu, Felice hanya mengisi waktu dengan merenung. Tangannya memang menggunting tangkai bunga, tapi perasaannya benar-benar hancur. Sesekali ia membisikkan penderitaannya pada hortensia yang bermekaran, tapi hanya ada semilir angin sebagai jawaban. Ia sendiri dan sendirian. Terjebak dalam rasa sepi yang begitu dekat dan nyata.

Lihat selengkapnya