TENTANG SEORANG ANAK LELAKI
Musik latar: “Georgia on My Mind” oleh Ray Charles
Aku memasukkan pecahan sepuluh sen ke dalam lubang di teropong koin dan mengamati cakrawala. Tak ada apa pun. Aku memutar teropong ke arah pelataran pesawat, mengamati pesawat-pesawat turbo-prop, pesawatpesawat Fokker F27 dan DC-3 milik Malaysia-Singapore Airlines, Vickers Viscounts milik Vietnam, dan pesawat-pesawat pribadi Cessna kecil. Aku berpindah lagi dan mengamati hanggar-hanggar di seberang landasan pacu, tempat pesawat-pesawat dirawat oleh para insinyur. Aku kembali memandang cakrawala. Masih tak ada apa pun.
“Tenanglah, Anthony, masih ada waktu satu jam lagi sebelum ibumu mendarat,” ujar ayahku. Kami sedang berdiri di viewing platform Bandara Subang, Kuala Lumpur. Hari itu cuaca lembap pada Juli 1969, beberapa bulan setelah ulang tahunku yang kelima. Ayahku, Stephen, dan aku sedang menunggu ibuku pulang dari perjalanan bisnisnya. Itu kali ketiga dia memintaku untuk tenang. Aku mengangguk. Lensa teropong lalu berubah gelap, jadi aku memasukkan koin lagi ke lubangnya dan kembali mengamati pelataran pesawat. Kami berdiri berdampingan dan hanya memandang bisu ke kejauhan.
Akhirnya, Fokker F27 itu terlihat, noktah kecil yang berubah menjadi bentuk yang familier, perlahan semakin besar dan menukik ke bawah menuju landasan. Ketika pesawat itu sudah mendarat, perhatianku beralih ke pintu-pintunya. Saat pintu pesawat terbuka, aku menahan napas hingga melihat ibuku muncul dan berjalan menuruni tangga. Dia mendongak menatap dek observasi dan melambaikan tangan. Aku berlari ke dalam bangunan terminal tempat aku bisa melihat melalui pagar besi ke area pengambilan bagasi di bawah. Begitu melihat Mum mengambil tasnya, aku berlari lagi, cepat-cepat menuruni tangga, menyesuaikan waktu agar aku bisa menghambur ke dalam pelukannya persis ketika ia keluar dari gerbang kedatangan.
Adegan itu melekat dalam benakku karena bandara selalu menjadi tempat yang menyenangkan bagiku. Dad dan aku sering melakukan perjalanan dari rumah kami di Damansara Heights di Subang untuk menemui Mum, dan semua perjalanan itu berakhir dengan perasaan hangat setelah bertemu dengannya.
Beberapa tahun kemudian, Dad dan aku mulai melakukan perjalanan ke toserba Weld di Kuala Lumpur. Di sana ada area khusus piringan hitam dengan rak-rak kayu yang menyangga album-album yang ditumpuk vertikal agar kami bisa membolak-balik piringan-piringan itu dari depan ke belakang. Kami biasanya pergi ke sana pada Minggu pagi antara waktu pergi ke gereja (yang tak kusukai) dan waktu makan siang, dan kami biasanya makan siang di salah satu restoran di dalam bangunan kolonial tua seperti Station Hotel atau Coliseum.
Pada satu kesempatan, aku sedang berdiri berjinjit di atas sebuah dingklik sambil membolak-balik piringan album ketika mataku tertumbuk pada satu piringan istimewa.
“Dad! Dad!” Aku melompat turun dari dingklik (kami terlalu sering mengunjungi tempat itu hingga para pegawainya menyebut benda itu ‘Dingklik Anthony’) dan berlari ke arahnya saat ia sedang melihat-lihat di bagian Dean Martin. Di tanganku, aku memegang sebuah album yang lalu kusodorkan kepadanya.
“Bisakah kita membelinya?” tanyaku penuh harap.
Dia mengangguk. Aku melompat-lompat kegirangan. Itu adalah album pertama yang kumiliki: The Supremes A’ Go-Go-nya The Supremes.
Kami pernah mendengarkan “You Can’t Hurry Love” di acara radio Patrick Teoh pada akhir pekan sebelumnya dan aku jadi gatal ingin memiliki albumnya sejak itu. Pada hari libur, jika aku sedang sibuk membersihkan debu dan merapikan koleksi piringan Dad, aku dibolehkan menyetel piringan-piringan di stereo system Grundig kami. Ayahku menyukai musikmusik klasik—Dean Martin, Sinatra, Bing Crosby, Sammy Davis Jr.—semua penyanyi di masa keemasannya.
Musik yang kuanggap identik dengan Mum adalah Nocturnes-nya Chopin. Aku suka mendengarkan Mum memainkan lagi-lagu indah itu dengan piano Yamaha-nya di ruang tamu. Selain Chopin, dia juga memainkan Mozart dan Beethoven, dan kapan pun dan ke mana pun kami pindah, piano selalu mendapat tempatnya sendiri di sudut ruangan. Mum memanggil guru les piano dan biola untuk datang ke rumah dan mengajariku, tapi jika aku akan belajar memainkan sesuatu, aku harus melakukannya sendiri atau bersama ibuku. Bakat musik dan metodenya menurun kepadaku karena, seperti ibuku, aku bisa belajar hanya dengan mendengarkan dan aku selalu lebih suka belajar dengan cara itu.
Ketika memainkan piringan hitam, Mum akan memilih penyanyi seperti Dionne Warwick atau Carole King. Selera ibuku lebih progresif dibandingkan ayahku, namun hal yang paling berpengaruh adalah betapa mereka berdua sangat mencintai musik. Musik selalu ada dalam diriku.
Hal lain yang diwariskan kepadaku adalah kecintaan Dad pada olahraga. Dia selalu menonton setiap acara olahraga yang disiarkan di televisi di Malaysia. Dia bersemangat mengikuti semua berita dan acara tim olahraga dan merupakan pendukung setia tim-tim yang bukan unggulan—kapan pun ada pertandingan yang tidak seimbang, dia selalu memihak tim atau pemain yang lebih lemah.
Ayahku terkadang mengajakku ke acara-acara olahraga di seluruh negeri dan kami menonton banyak pertandingan di televisi bersama-sama. Aku mengikuti berita-berita tentang sepak bola Brasil sejak usia muda. Tim mereka pada awal tahun tujuh puluhan benar-benar luar biasa: Pelé, Rivelino, Jairzinho, Carlos Alberto. Mereka semua adalah pemain-pemain hebat dan tim Piala Dunia 1970 tak diragukan lagi adalah tim terbaik dunia sepanjang sejarah. Dad dan aku juga menonton Star Soccer, acara yang menayangkan rekaman pertandingan-pertandingan sepak bola Inggris yang sudah berlangsung enam bulan sebelumnya. Entah kenapa pertandingan yang disiarkan tampaknya selalu menampilkan tim-tim dari Midlands (seperti West Brom, Wolverhampton, Birmingham, dan Aston Villa). Sepak bola yang mengerikan—mengoper bola ke pemain depan, pemain tengah yang gemar berkelahi tanpa keterampilan bermain atau taktik, lapangan-lapangan berlumpur, dan tekel-tekel yang sanggup mematahkan tulang. Semuanya tentang bagaimana merebut bola secepat mungkin—tanpa sedikit pun ada taktik permainan yang lebih besar. Tak ada sedikit pun keindahan atau gaya yang mereka punya dibandingkan dengan tim-tim lain yang kutonton, misalnya Brasil. Perbedaan cara mereka bermain sepak bola terlihat sangat jelas.
Kemudian, suatu hari di tahun 1974, aku melihat sebuah pertandingan Star Soccer dan pendapatku tentang sepak bola Inggris berubah selamanya. Pertandingan antara Aston Villa melawan West Ham. Aku belum pernah menonton tim sepak bola London sebelumnya dan saat itu seolah aku sedang menonton Brasil bermain, bedanya hanya lumpur dan suasana suram Birmingham. West Ham bermain dari belakang dan mereka punya taktik dan gaya—mengoper bola ke sana kemari untuk membangun serangan. Trevor Brooking, Alan Devonshire, Frank Lam-pard, Pat Holland dan, pemain kesukaanku, Clyde Best. Mereka punya keterampilan tinggi dan bermain cair seperti para pemain bintang Brasil. Saat itu juga aku memutuskan untuk mendukung mereka.
Walaupun menyukai olahraga, awalnya aku tidak becus bermain. Pada usia delapan tahun, aku membeli sepatu sepak bola pertamaku dan memutuskan menjadi kiper adalah posisi paling mudah untuk mengembangkan diri. Selama bermain, aku gembira. Kemudian saat aku berusia sepuluh tahun, ada sesuatu yang berubah—tiba-tiba aku bisa bermain.
Untuk hadiah ulang tahunku saat itu, pamanku membelikanku radio SW merek Philips. Tak ada siaran langsung di televisi, jadi setiap Sabtu malam aku menyetel radio BBC World Service dan Paddy Feeny’s Sportsworld. Program radio tersebut meliputi pertandingan-pertandingan sepak bola English First Division pada sore hari. Tentu saja, pada masa itu kick off baru dimulai pada Sabtu pukul 15.00—tidak ada pertandingan pada hari Munggu. Radio itu punya beberapa frekuensi gelombang pendek, medium, dan FM, dan aku harus memegang radio itu sedemikan rupa dengan posisi aneh untuk mendapatkan sinyal yang baik (yang terbaik adalah di sebelah kulkas). Saat itu kupikir, “Wow, benar-benar benda yang hebat.”
Setiap akhir pekan selama musim sepak bola berlangsung, itulah yang kulakukan—Sabtu malam adalah tentang sepak bola dari pukul 11 siang hingga 2 dini hari. Pertandingan West Ham jarang disiarkan langsung, namun kalau ada berita baru secara teratur artinya aku bisa mengikuti berita tentang tim itu. Tambahan lagi, aku punya majalah Shoot! yang berisi semua berita terbaru. Di setiap awal musim, majalah itu memberi bonus sebuah poster bergambar grafik setiap liga dan potongan label logo untuk setiap tim yang bermain. Dengan semua perlengkapan tersebut, aku mengubah-ubah posisi tim di klasemen liga setelah hasil pertandingan keluar setiap Sabtu malam. Aku juga punya tim favorit di setiap liga. Percaya atau tidak, Queens Park Rangers (QPR) adalah tim “kedua”-ku saat itu. Gerry Francis, Stan Bowles, Mick Thomas, dan Rodney Marsh membuat tim itu hampir seatraktif West Ham.
Aku seorang penggila olahraga, seperti ayahku, dan sebisa mungkin kami pergi menonton hampir semua pertandingan olahraga di Malaysia. Ada kompetisi sepak bola bernama Pestabola Merdeka (Merdeka Tournament) yang diadakan setiap tahun. Semua tim Asia Tenggara memainkan serangkaian pertandingan selama seminggu. Pernah selama satu tahun—mungkin pada 1974 atau 1975—kami tak melewatkan satu pertandingan pun.
Kami juga menonton balap motor setiap tahun, di sirkuit di Batu Tiga, dan menonton Formula Two dan MotoGP. Aku menikmati tiga hari yang sangat bising di sirkuit balapan. Ada beberapa pembalap legendaris Asia Tenggara dan Jepang saat itu: Albert Poon (belakangan diberi gelar ‘Sir’) dan Harvey Yap adalah para pahlawan lokalku. Aku membayangkan masa-masa itu, saat aku berjalan ke arena Malaysian Grand Prix pertama sekian tahun kemudian, dikelilingi oleh mesin-mesin Formula One yang meraung-raung. Seperti halnya kotak kardus itu, kenangan tersebut membuat mataku membasah saat teringat akan ayahku dan bagaimana dia sangat gembira berada di sana untuk menyaksikan ajang penting itu.