Flying High

Mizan Publishing
Chapter #3

BAB 2

BATAS LUAR

Musik latar: “Lonely Boy” oleh Andrew Gold

Orangtuaku mengantarku ke bandara pada awal September 1977. Aku tidak takut—bahkan aku merasa gembira karena akan terbang sendirian untuk kali pertama saat usiaku tiga belas tahun.

Tak lama setelah kami tiba di bandara, aku dititipkan ke pramugari yang kemudian membawaku ke ruang tunggu untuk duduk sebelum penerbangan dengan pesawat Qantas diumumkan. Perpisahan dengan Mum dan Dad dan adik perempuanku digantikan dengan kegembiraanku karena akan terbang sendirian. Sensasi saat pesawat lepas landas, yang dibawa oleh suara raungan mesin saat mencapai tenaga penuh dan getaran bodi pesawat 747 saat menderu kencang di landasan pacu, adalah perasaan yang masih kusukai hingga hari ini. Aku ingat jelas saat pesawat melesat ke atas setelah lepas landas, telingaku terasa agak teredam ketika kami terbang menembus awan dan menuju langit biru yang jernih. Aku terjaga hampir selama penerbangan itu murni akibat adrenalin; aku tak ingat apakah aku sempat tertidur walau hanya sejenak. Pesawat transit di Bahrain, tapi aku tetap tinggal di dalam kabin, tak ingin turun hingga akhirnya aku harus turun.

Ketika akhirnya pesawat tiba di Heathrow, aku memandang ke sekelilingku dan pikiran pertama yang melintas dalam benakku adalah: “Ya Tuhan, di sini semua orang berkulit putih!” Terbang terasa menyenangkan, namun tiba di sini sendirian terasa mengerikan. Saat aku mengikuti papan tanda menuju area pengambilan bagasi, kepadatan dan keramaian orang membuatku merasa kecil—semua di bandara itu berukuran besar. Aku memang pernah berada di bandara itu sebelumnya, tapi berkunjung ke suatu tempat bersama orangtua adalah pengalaman yang berbeda dibandingkan dengan pergi sendirian. Aku merasa gugup dan rapuh. Dan berikutnya aku harus melakukan perjalanan sendirian ke Epsom naik bus Green Line nomor 727, yang sebelumnya sudah diinformasikan kepada orangtuaku oleh pihak sekolah. Aku tidak tahu harus naik dari mana dan tidak tahu berapa lama perjalanannya. Instruksi yang masih kuingat adalah turun di depan kedai minum Spread Eagle di Epsom High Street.

Aku menunggu di samping konveyor barang, mataku menatap koper-koper yang muncul dari sebuah lubang di dinding, dengan gugup memandang para penumpang lain yang mengambil koper mereka dan melangkah pergi.

Aku berhasil menemukan bus 727 yang berangkat dari luar Terminal 2.

Sopir bus meletakkan koperku di bagasi, menunggu para penumpang lain, dan kami pun berangkat. Di sepanjang jalan raya bus ini melewati Teddington, Kingston, dan kemudian wilayah pedesaan Surrey, aku terpukau melihat warna hijau di sepanjang jalan. Keramaian jalanan itu juga belum pernah kualami sebelumnya—jalanan begitu padat dengan orang-orang, mobil, sepeda motor, dan truk. Bus yang kutumpangi sesekali berhenti dan melaju lagi, sementara aku duduk dengan gelisah dan sering memandang ke luar untuk memastikan pemberhentian berikutnya. Sopir bus dengan ramah memberitahukanku saat kami tiba di Spread Eagle di Epsom High Street dan dia membantu menurunkan koperku. Saat bus kembali melaju, melanjutkan perjalanannya ke Gatwick, aku memandang ke sekitar, tak yakin harus melakukan apa lagi. Seorang remaja perempuan berjalan melewatiku, jadi aku pun menanyakan arah ke sekolah. Dia mengangkat tangannya ke arahku, dan tadinya kukira itu mungkin cara orang Inggris mengatakan halo, hingga akhirnya dia berkata, “Pulanglah. Kami tak mau ada orang sepertimu di sini.”

Selamat datang di Inggris.

Akhirnya, seorang pria tua menunjukkan arah yang benar dan aku pun memulai tahap terakhir perjalananku. Koperku terasa berat dan, tentu saja, masa itu koper belum beroda, jadi aku mengangkatnya sambil berjalan perlahan di sepanjang trotoar sempit melewati Epsom dan wilayah pinggiran kota yang tampak lebih rindang oleh pepohonan hingga akhirnya aku melihat plang yang menunjukkan arah ke rumahku untuk enam tahun ke depan.

Setelah perjalanan dengan pesawat, bus, dan berjalan kaki sejauh kira-kira tiga kilometer, aku merasa sangat lelah, lapar, dan kedinginan. Aku menyeret koperku ke kampus Epsom College tempat aku melihat bangunan utamanya untuk kali pertama. Tampak menyeramkan. Terletak di tanah yang agak membukit, bangunan itu memanjang sekitar 150 meter di kedua sisi pintu masuk utama yang dibuat dari kayu ganda yang besar. Di atas pintu-pintu ada menara kecil dan tiang bendera yang dengan bangga memamerkan bendera Union Jack. Pintu masuknya dibingkai dengan lengkungan batu berwarna putih di bagian atas yang kontras dengan bata merah tua dan jendela berwarna gelap dengan bingkai dari timah. Bagi seorang anak 13 tahun dari Kuala Lumpur, pemandangan seperti itu tidak terasa seperti sambutan hangat. Jika aku merasa kecil di Heathrow, di tempat itu aku merasa amat sangat kecil.

Aku membuka pintu besar itu dan menemukan seorang guru yang menunjukkan arah ke asramaku yang sudah ditentukan, Holman House, yang bangunannya berwarna merah dan putih. Dia menyuruhku untuk bergegas dan berganti pakaian karena makan malam akan dimulai sepuluh menit lagi. Aku berlari menyeberangi kampus dan menuruni bukit yang baru saja kulewati, menuju Holman House. Aku menaiki tangga dan menemukan kamar asramaku: dua puluh ranjang yang dibagi menjadi sepuluh ranjang di setiap sisi dinding kamar yang panjang itu. Aku mengambil ranjang yang masih kosong, membuka koperku, dan mengeluarkan baju seragamku. Anak-anak lain di kamar itu memandangku penuh rasa ingin tahu dan lalu mulai tertawa ketika aku susah payah memakai dasi—sesuatu yang tak pandai kulakukan. Akhirnya, seorang murid, Roddy Williams, merasa kasihan kepadaku dan datang membantu. Cemas karena tak bisa mengikat dasi itu lagi, aku memakai dasi terikat yang sama selama minggu pertama, hanya kulonggarkan sedikit agar bisa kulepas melewati kepalaku saat malam hari dan mengencangkannya lagi keesokan paginya ketika aku harus memakainya. Teman baruku, Roddy, dan aku mulai sering mengobrol soal sepak bola dan aku mulai merasa lebih nyaman.

Karena sudah terlambat dan lapar, kami berlari menuruni tangga menuju bangunan utama untuk makan malam. Karena terlalu asyik mengobrol dan khawatir terlambat, kami mengambil jalan pintas menyeberangi lapangan. Entah dari mana, kami mendengar suara seorang pria meneriaki kami keras-keras.

“Kalian! Anak-anak nakal! Jangan injak-injak rumputnya atau kalian akan segera dihukum!”

Kami berdiri membeku, ketakutan. Mr. Parker, guru sejarah yang tampak menakutkan dalam setelan dan jubah hitamnya, mendekat dan memarahi kami, menjadi tontonan anak-anak lain yang sedang menuju ruang makan malam dengan tergesa-gesa. Roddy dan aku hanya menunduk lalu berjalan ke ruang makan. Untuk menyempurnakan hari yang melelahkan dan mengesalkan di sekolah baruku, aku dipermalukan di depan anak-anak lain oleh guru pertama yang kutemui.

Orangtuaku tak pernah mengatakan dengan terus terang kenapa mereka mengirimku ke Epsom, namun tak lama kemudian motif mereka menjadi jelas. Sekolah ini dibuka pada 1855 untuk menyediakan asrama bagi para janda yang bekerja di bidang kesehatan dan untuk menyediakan pendidikan bagi para putra mereka. The Royal Medical Foundation, didirikan oleh Dr. John Propert, adalah badan yang mengumpulkan dana dan membangun kampus tersebut; dan ketika sekolah dibuka, tempat itu diberi nama The Royal Medical Benevolent College. Awalnya, ada seratus anak lelaki, namun jumlah murid pun perlahan-lahan bertambah. Ketika aku tiba di sana, jumlah muridnya hampir mencapai 600 orang. Aku diberi tahu bahwa Epsom College telah mendidik lebih banyak dokter daripada sekolah lain di Inggris—dan, sebagian orang bilang, dunia. Namun, terlepas dari harapan ibuku, aku tidak ditakdirkan menjadi dokter yang menambah panjang daftar dokter lulusan Epsom yang mengesankan.

Aku menghabiskan minggu pertama untuk mencari tahu seluk-beluk gedung, mempelajari sejarah bangunannya, dan berusaha beradaptasi dengan hal-hal yang tampak aneh. Rasanya aneh makan di ruang makan dengan lebih dari lima ratus anak lelaki dan tidur di kamar dengan sembilan belas orang lain. Ada perempuan pengurus asrama yang mengurusi cucian kami: kami hanya perlu melemparkan baju kotor ke keranjang kayu besar di salah satu sudut asrama dan, beberapa hari kemudian, baju-baju kami muncul kembali dalam keadaan sudah dicuci dan disetrika. Tak ada yang familier dalam kehidupan baruku dan tak ada kenyamanan seperti rumah di sana. Ketika kami mandi di pagi hari, airnya cuma suam-suam kuku atau malah sangat dingin karena air panasnya terbatas dan anak kelas enam selalu mandi lebih dulu. Rasa rindu rumah, yang sudah melayanglayang, mendarat keras pada diriku. Aku rindu rumah. Kehidupan di sini benar-benar berbeda dan aku merasa sangat jauh dari segala yang sudah kukenali.

Keanehan terus berlanjut dalam pelajaran olahraga pertamaku. Kami bermain rugbi, yang tampaknya salah dalam pandanganku: mengambil bola berbentuk lonjong dan berlari ke arah para pemain lawan yang berusaha menjatuhkanmu ke tanah. Itu berkebalikan dari permainan yang kusukai. Di pertandingan pertamaku, seorang anak dari tim lain mendapatkan bola dan mulai berlari menyusuri bagian sayap. Saat itu aku berlari cepat dan dengan mudah menyusulnya. Semua orang berteriak kepadaku untuk menjegal anak itu, tapi, sejauh yang kutahu, aku tak bisa menjegalnya seperti dalam permainan sepak bola, karena itu dianggap pelanggaran. Jadi, aku hanya mengikutinya hingga dia membanting bola dan mencetak angka. Aku sungguh tak mengerti semua itu.

Selepas pertandingan, kami semua berkumpul di ruang ganti dan diperintahkan untuk mandi bersama. Hal itu benar-benar membuatku ngeri. Berbagi koridor pancuran dengan tiga puluh anak lain tampaknya aneh. Begitu kami kembali memakai baju seragam, aku memandang ke sekeliling untuk mencari tempat menaruh baju kotorku. Seorang anak yang lebih tua menunjuk ke arah sangkar kawat tempat kami menggantungkan seragam tadi saat sedang bermain rugbi. Aku semakin heran. Tak seperti baju seragam, kaus olahraga tetap disimpan di sangkar itu selama setidaknya tiga atau empat sesi lagi sebelum dicuci, jadi kalau kami baru selesai bermain dari lapangan yang basah atau berlumpur, kaus itu akan tetap di sana hingga membusuk dan tiba waktunya untuk kami pakai lagi. Memakai kaus itu benar-benar menjijikkan.

Pertandingan tandang pertama sekolah kami dijadwalkan pada Sabtu pertama itu. Kami semua menaiki bus dan memulai perjalanan panjang ke Merchant Taylors’ School di dekat Watford. Salah seorang anak membawa tas Adidas yang ia tulisi Jairzinho.

“Kau tahu Jairzinho?” tanyaku kepada anak itu, yang bernama Déj Mahoney. Dia adalah anak yang kukejar dalam pertandingan waktu itu dan bukannya kujegal. Déj memandangku seolah aku tinggal di hutan seumur hidupku dan tak lama kemudian kami mulai mengobrol tentang para pemain hebat Brasil, dan akhirnya kami juga bertukar cerita tentang tim dan bintang sepak bola favorit kami. Memang aneh, sepak bola telah membantuku mengembangkan diri di sekolah rugbi dan belakangan persahabatanku dengan Déj terjalin sangat lama. Banyak sekali sahabatku yang berasal dari Epsom, dan Déj dan aku masih saling berhubungan, sebagaimana hubunganku dengan banyak teman sekolahku, bahkan dari Alice Smith School saat aku masih bersekolah di Kuala Lumpur.

Walaupun tak paham bagaimana bermain rugbi, aku tetap ikut bermain. Bagaimanapun itu juga olahraga dan aku bisa berlari cepat dan tanganku pun terampil. Suatu sore, aku sedang bermain untuk tim asrama dan mencetak empat angka karena aku sulit dikejar. Seorang guru pasti telah mengamatiku karena aku dimasukkan ke Tim A, walaupun tadinya aku hanya berhasil masuk ke Tim B. Saat itu adalah tahun kedua sebelum aku berhasil masuk ke Tim A.

Walaupun terkadang menelepon ke rumah, aku masih merindukan Mum dan Dad, teman-teman, dan kenalanku. Sebelum liburan tengah semester pada tahun ajaran pertama yang sangat panjang itu, aku menelepon ibuku. Belakangan ternyata obrolan itu bersifat pertanda.

Kubilang, “Mum, aku mau pulang.”

“Tiketnya terlalu mahal.”

Lihat selengkapnya