Berfoto di depan objek wisata adalah dambaan bagi hampir sebagian besar traveler. Setiap ada yang menarik, biasanya kita langsung pose bersama objek tersebut. Nah, pose yang dipilih pun macam-macam, mulai dari pose standar berdiri tegap di depan objek, hingga pose yang tidak standar, seperti pose patung, pose lucu, dan berbagai pose lainnya.
Mengapa kita berfoto dengan pose-pose tersebut? Alasannya macam-macam, untuk koleksi, sekadar lucu-lucuan, ataupun diunggah ke media sosial, seperti Facebook atau Instagram. Tren sekarang, foto yang diunggah ke media sosial biasanya diberi keterangan lokasi, seperti @Tokyo, @London ....
Saya pun begitu. Hobi saya melakukan perjalanan ke banyak tempat. Perjalanan tersebut saya lakukan baik atas inisiatif pribadi maupun dalam rangka tugas kedinasan. Dalam setiap perjalanan, saya kerap mampir ke beberapa objek wisata yang ada. Setiap melihat objek menarik, saya langsung berpose. Mulanya seperti kebanyakan orang, saya hanya pose berdiri ala pas foto, tetapi lama-kelamaan, kok, rasanya standar banget, ya.
Hal itu berubah sejak saya mengenal fotografi levitasi. Saya mengenal fotografi levitasi saat melihat iklan Art Media di Tokyo, Jepang. Saat itu ada gambar seorang gadis Jepang sedang berpose melayang. Belakangan saya tahu nama gadis Jepang itu adalah Natsumi Hayashi. Ia dikenal juga sebagai “Floating Girl from Tokyo”. Gadis yang memopulerkan fotografi levitasi ke dunia.
Saya beruntung bisa bertemu langsung dengan Natsumi Hayashi dan mendengarkan pemaparannya tentang levitasi. Awalnya saya berpikir seperti kebanyakan orang bahwa levitasi adalah trik kamera atau menggunakan aplikasi di komputer. Ternyata tidak. Levitasi adalah sebuah seni berpose yang nyata, bukan dengan trik ataupun aplikasi. Levitasi dilakukan dengan sebuah gerak fisik yang mengharuskan kita “melayang” secara riil. Para penggemar levitasi “puritan” benar-benar anti-menggunakan aplikasi atau olah komputer lainnya untuk membuat efek melayang.