Mesin fotokopi sedang bekerja menyalin banyak tulisan. Sakha menunggu sambil mengetukkan jarinya di mesin fotokopi. Sakha memperbanyak berkas kasus Nina untuk dibahas lebih lanjut oleh tim Indira. Indira bergerak cepat untuk menyelesaikan kasus ini.
Berbicara soal Indira, Sakha belum bertemu sejak pagi. Hari ini Sakha merasa kesepian karena sendiri di ruang kerja. Sebenarnya Sakha ingin ikut ke persidangan, tetapi Indira tidak memperbolehkan. Menurut Indira lebih baik waktu Sakha digunakan untuk bekerja dibandingkan hanya menonton persidangan.
“Mas, sepertinya sudah selesai fotokopi,” ujar seorang lelaki menyadarkan Sakha dari lamunannya.
“Ah,” Sakha tersadar dan langsung membereskan kertas-kertas yang sudah tersalin data. “Maaf, saya lama pakenya. Masnya jadi nunggu.”
“Nggak, saya kebetulan lewat sehabis nyeduh kopi terus liat Masnya bengong padahal sudah selesai fotokopi.”
Sakha terkekeh karena kecerobohannya. “Oh ya,” Sakha mengulurkan tangan. “Sepertinya kita belum kenalan. Saya Sakha, partner baru Bu Indira.”
Uluran tangan Sakha disambut baik, “Saya Niko, paralegal di tim Bu Indira.” Setelah perkenalan singkat, mereka melepas jabatan tangan. “Saya memang baru masuk kantor lagi, sebelumnya ada tugas di luar.”
Sakha menganggukkan kepalanya, “Boleh saya tanya sesuatu?” ucapnya ragu-ragu.
“Silahkan, karena bertanya itu masih gratis.”
Sakha terkekeh mendengar ucapan Niko, “Paralegal itu orang yang membantu pekerjaan pengacara, kan?”
“Iya betul, paralegal itu pekerjaan yang membantu pengacara dalam meringankan pekerjaannya, seperti administratif, pengarsipan, bahkan kami bisa menjadi detektif. Kalau butuh informasi sesuatu, jangan sungkan minta bantuan ke saya.”
“Pasti kerjaan Mas Niko banyak banget.”
“Lumayan, lagian ini udah jadi tanggung jawab saya. Selagi bantuan itu masih berhubungan dengan pekerjaan, saya siap membantu.”
Indira keluar dari lift, ia berjalan menuju ruangannya dengan tergesa-gesa. Sakha yang melihat kedatangan Indira menyudahi obrolannya dengan Niko. Sakha menyusul Indira ke ruangan mereka. Ketika Sakha masuk, ia melihat Indira sedang menelpon seseorang.
Indira terlihat sangat sibuk, satu tangan digunakan untuk memegang ponsel dan satu tangannya digunakan untuk memilah kertas. Sakha masuk dengan diam dan duduk dengan tenang. Sakha tidak ingin mengganggu Indira, namun pandangan Sakha tidak bisa beralih dari Indira.
Indira mematikan ponsel, ia menghela nafas panjang. Lalu Indira melirik ke arah Sakha, memergoki Sakha yang sedang memperhatikan dirinya. Sakha langsung memalingkan wajahnya ke arah komputer, ia sangat malu ketahuan seperti itu oleh Indira.
“Sakha,” panggil Indira. “Tolong ke sini sebentar.”
Sakha menghampiri Indira dengan gugup, “Ada apa, Mbak?”
Indira mengambil buku dari laci mejanya. “Ini adalah buku catatan saya, silahkan kamu pelajari isinya. Di sini juga terdapat banyak istilah hukum, jadi ketika saya meminta tolong, saya nggak perlu lagi menjelaskan.”
Sakha merasa lega karena Indira tidak menyinggung apa yang terjadi barusan. Sakha mengambil buku itu, “Baik, Mbak. Saya akan belajar dengan sungguh-sungguh.”
Sakha kembali ke tempat duduknya. Sebelum melanjutkan pekerjaan, ia membuka buku catatan milik Indira. Sakha melihat halaman pertama yang berisi sedikit informasi mengenai Indira, seperti nama lengkap Indira adalah Indira Kalyna. Di situ juga tertera tanggal lahir Indira, ternyata ia dan Indira seumuran.
Sakha membalik halaman selanjutnya, Sakha menilai tulisan Indira sangat bagus dan rapi. Jika seperti ini Sakha akan bersemangat untuk belajar. Catatan Indira sangat mudah untuk dipelajari olehnya. Indira adalah orang yang sangat teliti dalam hal apapun.
Sakha terseyum lebar, entah mengapa ia sangat senang menerima buku catatan milik Indira.
~~~
Waktu berlalu dengan cepat, sekarang sudah pukul lima sore, sudah waktunya untuk pulang. Indira memperhatikan Sakha, ia sangat serius mempelajari buku catatan miliknya. Entah mengapa Sakha terlihat lebih baik ketika sedang serius seperti ini.
Indira langsung menggelengkan kepalanya, mengusir jauh-jauh pemikiran itu. Bagaimana mungkin ia bisa memikirkan lelaki lain. Tidak. Ini tidak boleh terjadi. Jangan sampai hal ini terulang lagi.
“Sakha,” panggil Indira.
“Ya, Mbak?”
“Malam ini kamu punya rencana?”
Sakha berpikir sebentar, mengingat adakah yang akan ia lakukan selesai bekerja. “Sepertinya nggak ada, Mbak.”
“Bagus! Malam ini rencananya anak-anak yang lain ingin makan malam bareng. Anggap saja penyambutan kamu sebagai bagian dari tim saya.”
“Wah,” Sakha terlihat antusias. “Jadi makan malem yang seperti ini beneran ada ya, Mbak?”
Indira mengerutkan keningnya, ia tidak mengerti apa maksud ucapan Sakha barusan. Raut wajah Sakha langsung berubah menjadi sangat senang. Indira tersenyum melihat ekspresi wajah Sakha yang tidak terduga seperti ini, hanya karena makan malam bersama.
“Kita berangkat kapan, Mbak?” tanya Sakha.
“Nanti sekitar jam tujuh. Nggak apa-apa kan kamu harus nunggu lebih lama?”
“Nggak apa-apa Mbak, saya malah sangat senang bisa bekerja lebih lama di sini bareng Mbak Indira,” ucap Sakha dengan polos.
“Eh,” Sakha yang menyadari ucapannya langsung memperbaiki kalimatnya. “Maaf Mbak, maksud saya kalau bekerja berdua kan lebih baik. Saya jadi nggak ngerasa sendirian, terus juga kalau ada sesuatu yang saya nggak tau, bisa langsung tanya ke Mbak Indira.”
Indira tidak merespon ucapan Sakha, ia lebih memilih memeriksa ponselnya. Sakha menggerutu, ia memukul mulutnya sendiri, menyadari betapa bodohnya ia ketika kelepasan berbicara.
Indira tersenyum membuka pesan dari Aksara. Pesan yang sangat manis untuknya. Sayangnya malam ini ia tidak bisa bertemu Aksara, karena makan malam bersama anggota timnya. Untungnya, Aksara mengerti Indira. Ya, sepertinya lagi-lagi Aksara terus memahami posisi Indira.