Foolish Devotion

Manorra Lee
Chapter #1

Bab 1

Orang bilang, manusia itu makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Terus, memangnya kenapa kalau terbiasa sendiri?


Manusia seperti aku ini sering dikira tidak ramah, kesepian, tidak bahagia, dan yang paling menyebalkan ... sering disebut aneh, sok misterius. Padahal bisa saja 'kan mereka tutup mata, anggap aku tidak ada. Kenapa harus memilih berbisik dan membicarakan di belakang?


"Merasa cantik karena dikejar-kejar Kevan. Padahal aslinya ... kayak orang dongo."


Dengar? Bahkan aku disalahkan karena sesuatu yang tidak aku inginkan, dan mereka tertawa puas setelah mengucapkan kalimat itu. Aku tidak tahu kenapa Kevan mengejarku seperti orang gila, padahal aku tidak cantik. Dongo, seperti yang mereka katakan.


"Mungkin udah pernah dicicipi, makanya Kevan ketagihan." Mereka terkikik geli, sedangkan aku mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak memukul mulut dua siswi itu.


"Ya kali dicicipi, yang ada Kevan muntah!"


"Muntah gimana? Ketagihan, buktinya ke mana-mana diikutin terus." Siswi itu menunjuk arah pintu masuk menggunakan dagunya.


Aku mengikuti arah pandang mereka. Kevan ada di sana, sedang berbicara dengan beberapa siswi sambil bersandar di dinding tembok kantin. Mereka tampak asik tertawa. Kalau mataku masih normal dan tidak salah melihat, dia seperti beberapa kali melihat ke arahku.


Ah, aku tidak peduli. Dua suap lagi, dan makananku habis. Setelah menenggak habis jus jeruk, aku segera keluar dari kantin, mengabaikan Kevan yang kurasakan sedang melihatku.


"Nad!"


"Nad!"


Aku nyaris berlari ketika suara panggilan dan langkah kaki terdengar jelas dari belakangku. Siapa lagi kalau bukan Kevan yang mengejarku. Aku sudah pernah mengatakan kalau dia mengejarku seperti orang gila, tanpa alasan. Tidak seperti yang dikatakan dua siswi tadi. Sama seperti mereka, aku juga masih mempertanyakan kenapa Kevan tidak berhenti mengejarku, sedangkan aku yakin dia tahu aku sering dinilai aneh.


"Nadira, please! Gue cuma mau ngomong!" teriaknya, lalu meraih tanganku, menggenggamnya sangat erat hingga membuatku terpaksa berhenti. "Dengerin dulu!" sentaknya.


Aku melihatnya, memberikan tatapan nyalang dan menunggunya berbicara. Namun, Kevan tidak langsung berbicara melainkan melepaskan lenganku, lalu mengguyur rambutnya ke belakang disertai helaan napas kasar. Setelah menatapku selama beberapa saat dengan rahang mengetat, dia tertawa sumbang.


Seketika, suasana hatiku yang semula diselimuti amarah kini sedikit menyusut. Bulu-bulu di lenganku berdiri, menggerakkan jemari untuk mengusapnya seraya bergerak mundur beberapa langkah. Pandanganku masih terpusat pada Kevan ketika laki-laki itu mengambil sesuatu dari saku celananya.


Keningku mengerut. Foto?


Lihat selengkapnya