Foolish Devotion

Manorra Lee
Chapter #2

Bab 2

"Mau ke mana? Temenmu dateng lagi?" Bapak berdiri di ambang pintu kamarku yang terbuka sementara aku sedang bersiap-siap di depan cermin, memoles bibir dan menata poni agar terlihat rapi.


Aku menoleh sekilas ke arah Bapak sambil menggeleng. "Nadira mau ke rumah teman, Pak. Ada tugas kelompok."


"Malam-malam begini? Ini hampir jam delapan, lho. Kerja kelompok apa malam-malam begini?"


Aku memikirkan keputusan ini setengah jam yang lalu. Tidak dengan menggunakan kepala dingin, tetapi sangat yakin untuk melakukannya.


Menghampiri Kevan ke tempat di mana bisa menemukannya sepertinya bukan ide yang buruk, hanya untuk meluruskan masalah dan memohon sedikit belas kasih. Dia tergila-gila padaku, tidak akan sulit untuk membuatnya tunduk, kan? Seseorang akan cenderung buta kalau berhadapan dengan cinta.


"Lusa ada acara kemah di sekolah. Ada beberapa hal yang harus disiapkan," jawabku, tidak sepenuhnya bohong.


"Besok 'kan masih ada waktu."


Aku termenung beberapa saat. Benar kata Bapak, aku masih memiliki banyak waktu, lalu kenapa memaksakan diri sekarang?


Kulihat pantulan diriku di cermin. Makeup tipis, sweater rajut dan celana oversize. Aku ke sana tidak untuk bekerja, maksudku, dari pakaianku saja sudah menunjukkan kalau aku tidak ingin melakukan apapun selain bernegosiasi. Pun, aku cukup penasaran dengan alasan Kevan memberiku kunci. Apa dia tidak takut aku merampok rumahnya?


Setahuku, Kevan anak orang kaya. Dulu saat masih kelas sepuluh dia sering diantar jemput menggunakan mobil mewah, juga sering mengendarai motor besar berharga puluhan juta. Kehidupannya berubah drastis sejak aku tahu dia tinggal di lantai atas klub malam milik bapak.


Ya, dia tahu banyak tentangku karena berada dekat denganku. Hampir setiap hari melihatku keluar masuk klub itu.


"Besok saja. Nanti kalau butuh bantuan bisa suruh Nindi, dia libur tiga hari."


Aku menoleh ke arah Bapak. "Kenapa?"


"Kenapa apanya? Nindi 'kan libur. Jadi bisa bantuin."


"Kenapa Mbak Nindi libur?"


"Anaknya sakit."


Aku mengangguk beberapa kali. Mbak Nindi, dia salah satu pelayan di klub milik bapak. Salah satu karyawan dengan masa kerja paling lama yang kutahu. Usianya sudah tidak muda lagi, mungkin, empat puluh tahunan dan sudah memiliki seorang anak dari pernikahannya. Kami lumayan dekat karena setelah orang tuaku bercerai, dia yang mengurusi semua kebutuhanku.


Bisa dikatakan, dia orang tua keduaku.


"Ya udah, aku mau nengokin anaknya Mbak Nindi aja," kataku, lalu menyalami tangan bapak dan segera keluar dari rumah sebelum mendapatkan protes.


Akhir-akhir ini bapak sering melarangku ke rumah Mbak Nindi karena keadaan rumah tangga yang tampaknya sedang tidak baik-baik saja. Suaminya sering cemburu berlebihan karena pekerjaan Mbak Nindi yang sedikit ... kotor?


Ah, aku tidak tahu bagaimana pandangan orang lain terhadap pelayan klub malam. Akan tetapi, menurutku tidak seburuk itu karena beberapa dari mereka bersih. Mereka hanya "terpaksa" sebab tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.


Soal menjenguk anaknya Mbak Nindi, aku tidak sepenuhnya berbohong. Mbak Nindi dan Kevan tinggal di tempat yang sama, hanya berbeda kamar. Aku bisa menjenguk Mia—anaknya Mbak Nindi—terlebih dahulu atau ke rumah Kevan dulu, tergantung keadaan nanti.


Kurang lebih sepuluh menit berjalan, aku sudah sampai di depan gang. Tidak terlalu sempit, banyak lampu warna-warni di sepanjang gang, dan ramai. Beberapa perempuan berpakaian nyaris telanjang terlihat di beberapa sisi gang. Ada yang sedang menelpon, bercumbu dengan pria perut buncit dan marah-marah sambil berjalan sempoyongan.


Berada di ujung gang, aku melihat bangunan empat lantai di depanku. Di samping bangunan itu ada sebuah tangga yang sengaja dibuat untuk menuju ke lantai empat-bangunan kost-sedangkan bangunan di bawahnya adalah klub. Lantai empat dan bangunan di bawahnya terpisah, satu-satunya jalan menuju ke sana hanya melalui tangga ini.


Lihat selengkapnya