Foolish Devotion

Manorra Lee
Chapter #3

Bab 3

Seseorang pernah bertanya di sosial media tentang bagaimana cara mati dengan cepat. Lalu aku menjawab di kolom komentar, "Terjun atau melompat dari gedung."


Aku serius saat mengatakannya, karena pernah pada suatu hari aku melihat secara langsung temanku mati setelah terjun dari lantai enam gedung rumah sakit. Menurutku itu satu-satunya cara mati dengan cepat. Sangat mudah, tanpa harus merasakan sakit yang berarti.


Beberapa saat kemudian orang itu membalas komentarku."Gimana kalau terjun dari lantai empat?" tanyanya yang seketika membuatku mendongak. Benar saja, aku bisa melihat si Bodoh itu berdiri di pagar pembatas.


Tanpa pikir panjang aku berlari menaiki tangga seperti anjing kesetanan. Begitu sampai di lantai empat, aku berhenti untuk mengatur napas. Orang yang berniat terjun dari lantai empat itu menoleh ke arahku, kerutan di dahinya menandakan kalau dia sangat terkejut. Detik kemudian ekspresinya berubah datar, sedangkan aku merasa lega melihatnya masih berdiri di sana.


Setidaknya niat bodoh itu tertunda.


Aku berjalan mendekat, memberi jarak cukup jauh. Seseorang yang berniat bunuh diri cenderung gegabah ketika mendapat perhatian. Adrenalinnya meningkat dan membuatnya bertindak tanpa pikir panjang.


"Orang mati ketika sudah tidak bisa bernapas. Saat kamu lupa cara bernapas, ingat saat kamu berusaha tetap bernapas. Jangan mengkhianati usaha sendiri!" ucapku sedikit berteriak.


Dia menurunkan tangannya yang terlentang, lalu turun dari kursi yang menjadi pijakan dan menjauh dari besi pembatas sambil melihatku. "Jangan ceramah soal hidup dan mati. Setiap hari gue lupa cara bernapas!" katanya sengit.


Dengan langkah lebar dia berjalan ke arah sebuah pintu, membukanya dengan kasar, lalu menenggelamkan diri di balik pintu tersebut sebelum membantingnya.


Tubuhku lemas seiring napas panjang yang keluar dari mulutku.


Sejak peristiwa malam itu aku sadar, seseorang yang kesehariannya terlihat bahagia bisa jadi sedang menderita. Kebahagiaan tidak bisa dilihat dari berapa sering orang itu tersenyum dan tertawa.


Manusia pandai berkamuflase.


Seperti yang kulihat sekarang.


Saat aku meminta izin untuk tinggal di rumah Mama sementara waktu, Bapak mengangguk senang dengan mengatakan, "Iya, boleh." Beberapa kali. Namun, aku justru melihat matanya berkaca-kaca.


Salah satu bentuk kamuflase ketika seseorang ingin mengatakan tidak, tetapi tidak bisa mengatakan tidak.


"Setiap minggu aku bakal ke sini," kataku. Bapak sedang memperhatikanku di ambang pintu, sedangkan aku sibuk memasukan baju yang ke dalam tas.


"Pintu rumah Bapak selalu terbuka buat kamu."


Aku hanya mengangguk. Walaupun pekerjaannya tidak bisa dikatakan baik, tetapi Bapak orang yang baik hanya kadang tidak bisa mengendalikan sifat tempramentalnya. Wajar, karena dia memiliki tanggung jawab yang tidak mudah.


Sangat tidak mudah. Menjadi musuh masyarakat karena pekerjaannya yang dinilai melanggar norma dan agama. Sedangkan di sisi lain, dia harus menghidupi banyak kepala. Memiliki usaha dan berpenghasilan, bukan berarti kita hidup berkecukupan.


Yah, bisa dibilang termasuk golongan menengah kebawah. Semua uang yang dihasilkan dari klub digunakan untuk membayar hutang.


Hutang itu sifatnya seperti heroin. Candu. Sekali merasakan, rasanya enak, tanpa sadar melakukannya lagi dan lagi hingga yang tersisa hanya jiwa raga. Ditinggalkan anak, istri dan orang-orang di sekitar.


"Mau Bapak antar atau bawa motor sendiri?" Bapak berjalan ke arahku, lalu menimang-nimang berat tas yang berisi baju-bajuku tadi.


Lihat selengkapnya