Foolish Devotion

Manorra Lee
Chapter #4

Bab 4

Manusia, kalau sudah merasa bosan hidup atau sedang dalam fase keberatan menampung beban di pundak, biasanya lebih memilih menghilang bak ditelan bumi. Mendadak misterius dan sulit dihubungi, bahkan sampai dikira mati.


Yah, itu yang sedang kulakukan sekarang, walau sebenarnya tidak memiliki beban yang berarti. Hanya malas saja, dan ada privasi yang harus dijaga. Sesekali kita harus mencoba hidup egois, tidak memikirkan perasaan atau hidup orang lain. Akan tetapi, sekarang sepertinya aku mulai keluar dari jalur sebab laki-laki yang sedang tidur di belakangku.


Kevan Pradipta, dia berhasil membuatku nyaris kehilangan jati diri. Aku yang tidak pernah memikirkan orang lain, tiba-tiba menemukan kepingan puzzle berisi ingatan tidak penting yang sudah lama kulupakan. Ingatan-ingatan itu berputar di kepala, membuatku terjaga semalaman karena tidak berhenti bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada hidup Kevan.


Semalam kita sempat berdebat panjang soal keputusanku yang menolak tidur di ranjangnya. Pada akhirnya, aku menyerah karena tidak memiliki pilihan lain. Lewat tengah malam, mataku masih tidak bisa terpejam akibat rasa lapar. Masih dalam posisi berbaring, mataku tidak menangkap benda apapun yang layak dimakan. Di meja belajar hanya ada sebungkus roti dengan bekas gigitan di ujungnya.


Tidak ada pilihan lain.


Saat akan mengambil roti itu tiba-tiba Kevan berteriak histeris dalam tidurnya, lalu duduk terbangun dengan napas tersengal. Aku diam saja karena terkejut. Peristiwa itu terjadi sangat cepat.


"Ke-napa?" tanyaku, ikut duduk. Kevan menoleh cepat ke arahku. Napasnya berangsur normal, tetapi kerutan di dahinya masih belum pudar. "Kamu nggak papa?" tanyaku lagi, beringsut lebih dekat ke arahnya, tetapi dia tidak menjawab dan justru melanjutkan tidurnya hingga saat ini.


Aku tidak bisa berkata-kata, seperti aku yang sedang mengalami mimpi buruk.


Walaupun tidak bisa melihat matahari dari ruangan ini, aku yakin matahari sudah terbit. Pukul tujuh lebih, dan seharusnya kita berangkat sekolah, tetapi aku justru masih berbaring di ranjang Kevan.


Beberapa menit memandangi jarum jam yang tidak berhenti berdetak, kurasakan pergerakan di belakangku.


"Sampai kapan mau berbaring?" tanyanya dengan nada serak dan berat, khas bangun tidur.


Aku mengubah posisiku menjadi telentang, lalu menoleh menatapnya. Dia berbaring miring menghadapku. Saat melihat wajahnya, aku penasaran, beban berat seperti apa yang sedang dia sembunyikan di balik kerutan di dahinya itu.


"Sampai kamu bangun dan mau ngantar aku ke rumah Mama," jawabku kemudian.


Kevan mengembuskan napas panjang, lalu ikut telentang dengan memposisikan dua tangannya di bawah kepala sebagai bantal. "Ada banyak keputusan yang bisa lo ambil sendiri, tapi kenapa milih nurut sama gue?"


Tunggu, ini masih pagi, dan kenapa dia bertanya seperti itu? Apa ini pertanyaan jebakan?


Tanpa harus menjawab, kurasa dia sudah tahu jawabannya. Masih tercetak jelas di kepala saat dia mengancam menggunakan fotoku yang sedang duduk di pangkuan Rangga. Aku tidak akan setakut itu kalau saja pakaianku saat itu normal.


"Aku diancam," jawabku. Singkat, padat, dan jelas.


Lihat selengkapnya