Tok!
Tok!
Tok!
Kulirik Kevan yang berdiri di sampingku. Dia menatap lurus pintu yang baru saja aku ketuk, dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Kukira dia hanya akan mengantarku, lalu meninggalkanku di sini. Ternyata sikapnya jauh lebih berani dari yang kukira.
"Gue yakin dia nggak akan nolak lo. Tenang aja," katanya, tanpa melihat ke arahku.
Saliva meluncur kasar di tenggorokanku, lalu kembali melihat pintu yang masih belum dibuka. "Apa harus aku ketok lagi?" tanyaku.
Setelah makan mie instan buatan Kevan yang rasanya biasa saja itu, dia segera mengantarku ke rumah Mama. Kami sudah tiba lima belas menit yang lalu, dan entah sudah berapa kali mengetuk pintu rumah ini, namun masih belum ada jawaban. Kami yakin ada seseorang di dalam karena beberapa mobil terparkir di halaman.
Kevan mundur beberapa langkah hingga ke halaman, mengamati rumah Mama dari depan. "Ada orang di lantai dua." Dia melihatku sekilas, memberi kode agar aku melihatnya.
Ya, tepat di atas kami berdiri ada sebuah balkon besar. Dua pria dengan tubuh besar, berpakaian hitam serta kaca mata hitam berdiri di sana, seperti sedang mengamati sesuatu atau menjaga sesuatu? Entahlah.
Pandanganku beralih pada Kevan yang masih mendongak.
"Aku sering lihat mereka di club," kataku, kemudian Kevan menatapku. "Mereka anak buah Bramantyo-" Aku sengaja menggantung ucapanku guna mengamati ekspresinya. Keningnya mengerut dalam, sebelah alisnya terangkat, wajahnya mendadak kaku.
"Kenapa mereka di sini?" tanyanya menggebu. Aku tidak langsung menjawab melainkan mempertimbangkan jawaban yang akan kukatakan, memastikan jawabanku tidak akan membuatnya menggila.
Akhirnya, aku mengedikkan bahu. "Siapa yang tahu?"
Kevan membuang napas kasar, lalu meraih lenganku dan mencengkeramnya erat. "Apa hubungan keparat itu sama mama lo?" tanyanya dengan nada suara berat, tertahan.
Mengabaikan nyeri di lengan, aku menelengkan kepala dan tersenyum samar. Orang di depanku ini banyak tahu tentangku, tetapi aku tahu jauh lebih banyak rahasia besar keluarganya yang mungkin saja dia tidak tahu. "Kamu tahu Mama seorang mucikari, dan kamu pasti tahu apa yang dilakukan pria kaya kalau berhubungan dengan mucikari, kan?" Lebih dari satu tahun dia tinggal di lantai empat. Tidak mungkin tidak memahami hal seperti itu.
Tidak hanya Bramantyo. Tua bangka yang lainnya juga lebih suka menghamburkan uang untuk membeli wanita murahan secara diam-diam daripada menyimpan uang untuk anak dan istrinya. Uang dan dunianya itu memang mengerikan, terutama untuk mereka-mereka yang memiliki kekuasaan.
Biar kutebak, jawabanku tadi sesuai dengan apa yang Kevan pikirkan kalau melihat dari mimik wajahnya.
"Brengsek!" umpatnya sambil mengempaskan lenganku.