Foolish Devotion

Manorra Lee
Chapter #6

Bab 6

Nadira Pramudya. Kata Bapak, Mama yang memberikan nama itu. Sesuai arti nama belakangnya, mereka berharap aku tumbuh menjadi anak yang bijaksana, berharap aku menjadi manusia yang baik dan menjadi penerus dengan jalan yang lurus.


Kalau mereka tahu dan melihat apa yang kulakukan selama ini, mungkin mereka akan kecewa dan mengganti nama itu. Akan tetapi, ini bukan soal namaku, melainkan Mama. Dia sadar betul apa yang selama ini dia lakukan hingga tidak ingin anaknya terjebak di lubang yang sama sepertinya.


Sekarang aku tahu, betapa sulitnya keluar dari warna warni dunia malam. Tentu, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun beruntungnya, aku bisa menjaga rahasia dengan baik, walau harus bertahan dengan perilaku yang terkesan aneh dan kaku. Sebut saja ini sebagai bentuk kamuflase.


Ah, mungkin aku akan menjadi seperti Mbak Nindi kalau terlalu menyukai dunia ini. Memiliki hidup yang jauh lebih berantakan dari yang orang lain bayangkan; hidup bahagia hanya iming-iming selagi masih bisa menghirup udara dan akan jauh lebih mengerikan kalau memilih pasangan yang salah sepertinya.


Aku pernah mendengar percakapan Mbak Nindi dengan suaminya, di mana suaminya menginginkannya bekerja lebih giat lagi karena mereka membutuhkan uang. Seperti penuturan Mama kemarin, Mbak Nindi memilih jalan pintas yang juga pernah kulakukan. Menjual diri. Dengan cara itu kita bisa mempertahankan nilai moral yang ada dalam diri kita, tentu dengan cara yang buruk. Berbohong atau mungkin menyembunyikannya dengan berbagai cara.


Dengan begitu, kita masih bisa bersosialisasi tanpa dianggap rendah.


Menjual diri bukan tindakan kriminal yang memiliki sanksi hukum berat, kecuali sanksi sosial yang memang tidak bisa dihindari. Namun, kembali lagi, semua tergantung bagaimana kita memainkannya. Meskipun begitu, aku tidak menyarankan siapapun untuk menjual diri sebab penebusan dosa lebih rumit dari yang kita bayangkan.


***


Sesuai jadwal, hari ini aku menjalankan kegiatan kemah. Sekarang, aku sudah berada di dalam mobil yang akan membawa kita ke tempat yang katanya berada di area pegunungan di daerah dingin dan berkabut.


Aku lumayan penasaran karena tidak pernah ke tempat seperti itu. Namun, di sisi lain juga merasa malas kalau harus berinteraksi dengan banyak orang, apalagi melakukan kegiatan-kegiatan bodoh nanti.


"Lo tau, kan, apa tugas lo?" Miranda yang dari tadi duduk di sampingku akhirnya bersuara. Aku hanya mengangguk tanpa melihatnya. "Sesuai kesepakatan. Gue bakal bebasin lo dari semua kegiatan, asal lo bisa bikin gue deket sama Kevan selama kemah," ucapnya lagi dengan suara sedikit aneh karena sedang memakai lipstik.


Permintaan Miranda yang satu itu jadi salah satu kegiatan bodoh yang akan kulakukan.


"Hem ...." Aku menggumam sebagai jawaban.


"Lo punya rencana apa?" Suara Miranda sudah kembali normal, dan terdengar lebih dekat dengan telingaku. Dia berbisik. Aku melirknya sekilas, dia sedang melihatku, wajahnya hanya berjarak beberapa centi dari kepalaku. "Apa?" tanyanya lagi dengan nada tidak sabaran.


"Nggak ada."


"Kok nggak ada?"


Aku mendongak untuk melihat Kevan yang sedang berjalan dengan memegang sebuah kertas dan paperbag. Mungkin sedang mencatat absen. Aku sedikit menggeser tubuhku untuk melihat Miranda yang sedang melihatku dengan wajah marah. "Sekarang aku nggak punya rencana apa-apa. Lihat aja nanti apa yang bisa kita lakukan."

Lihat selengkapnya