"Kenapa lo Wid, suntuk amat?"
Gadis itu semakin menunjukan wajah masamnya, sebelum duduk di antara kedua laki-laki berstatus sahabatnya. Ia lirik keduanya bergantian, masih setia menanti penjelasan darinya. Tapi, sebelum ia benar-benar menjelaskannya. Widy tampak menghela nafas panjang, wajahnya berubah kian kacau saja.
"Eh, gimana sih? Gue muak kalau kaya gini terus caranya!" Widy tampak frustasi, ia sampai mengacak-ngacak surai cokelat tuanya.
"Dih, lo kenapa sih? Engga jelas banget dateng-dateng langsung kaya gitu!" ujar laki-laki bertubuh kurus di sampingnya.
"Tau! Dasar wanita tidak jelaz!" imbuh laki-laki bertubuh lebih berisi yang sedang sibuk menyantap sosis bakar di tangannya.
"Ih! Kresna! Dinar! Lo berdua bisa engga sih dengerin dulu!" gerutu Widy yang menatap kesal keduanya.
Laki-laki bertubuh kurus yang tidak lain bernama Kresna, tampak mempersilakan Widy berkeluh kesah,"Yaudah sih cerita dulu yang jelas! Biar kita paham, masalah lo tuh dimana?"
"Pokoknya harus cerita yang berfaedah ya Wid!" Perintah Dinar, disela kesibukannya menyantap sosis bakar.
Widy berdecak keras, ia bersedekap sebelum menghela nafas panjang. Mulai sibuk merangkai kata-kata untuk ia ucapkan, mengenai mimpinya tadi. Kalau saja mimpi semacam itu tidak terus menerus menyerbunya, mana mungkin Widy meminta kedua anak laki-laki ini untuk berkumpul di base camp mereka?
"Gue mimpiin Degan lagi!" Widy memulai ceritanya.
"UHUK!" Refleks Dinar tersedak sosis bakar yang hampir ia telan.
Berbeda dengan Kresna yang menghela nafas dan menatap tajam sahabatnya itu, "Lo belum lupain dia?"
"Udah! Cuma, kadang-kadang masih suka ke bawa mimpi-.."
"Lo diem-diem masih kangen si Degan'kan?!" Tebak Dinar dengan wajah paling menyebalkan yang pernah Widy lihat.
"Nah! Ngaku aja deh! Lo masih nyimpen perasaan ke Degan'kan?" Timpal Kresna tidak mau kalah.
Keduanya sama-sama menunjuk Widy yang tersudut saat ini. Gadis itu pun balas menunjukan wajah memelasnya, serta bibir mencebik. Well, apa yang ditebak kedua sahabatnya bukanlah hal yang salah. Widy akui itu memang benar.
Tapi ia tidak mau mengakuinya secara gamblang, biarkan apa yang ia rasakan dan tidak ia ungkapkan semua. Tetap menjadi rahasianya saja.
"Kangen mah wajar kali, udah lama juga engga ketemu." Gumam Widy pada keduanya.
"Engga wajar lah Wid! Lo tuh sadar diri apa sih?! Dia udah sama Dila! Udah sama Dila! Gue ulangin udah sama Dila!" ujar Dinar menggebu-gebu, tampak kesal dengan perasaan yang belum kunjung sirna dari hati seorang Widy.
"Gila ya lo! Udah di gantungin dia masih aja kangen!" Kresna tampak tidak habis pikir saja.
"Lo berdua'kan engga tau, gue yang jalanin sama dia-.."
"Eh! Kita bertiga sekelas ya Wid! Lo pikir tiap hari, kita engga liat gerak gerik lo sama Degan?! Lo kalau galau masalah dia juga curhatnya ke kita!" omel Kresna.
"Ngapain lo masih ngangenin dia? Lo pikir dia bakalan kangen sama lo? Jangan berharap Wid, lo berdua tuh cuma menjalin hubungan tanpa status selama 3 bulan. Bukan paca-.."
"Kalau aja gue engga ikutin saran Kresna, lo pikir gue sama dia bakalan kelar gitu aja?!" Potong Widy, memandang kecewa kedua sahabatnya itu. Terutama Kresna yang tengah menatapnya dengan lekat.
"Kok lo jadi nyalahin gue sih Wid?" Wajah Kresna berubah tidak suka, "Kan lo yang minta saran, karena dia engga seriusin lo!"
Widy mendengus kasar, "Karena saran lo! Hubungan itu tuh kandas!"
Dinar menghela nafas kasar, ia tepuk bahu Kresna yang bersiap untuk melakukan pembelaan diri. Laki-laki bertubuh kurus itu menoleh dan menatap Dinar dengan kesal, yang dibalas dengan gelengan pelan dari Dinar. Seolah, memberikan pertanda untuk tidak memperpanjang masalah yang tengah mendera Widy.
Karena yang mereka bicarakan hanya berupa masa lalu, tidak akan ada yang berarti banyak. Kecuali, untuk Widy yang masih terjebak di dalam bayang-bayang masa lalunya.
"Wid, sebenernya kesalahan ada di lo. Harusnya, lo sendiri yang bisa mutusin itu. Kresna cuma kasih saran-.."
"Tapi dia ngasih saran yang bikin gue merasa terdesak, Nar!" Ujar Widy dengan kedua mata yang menatap marah sahabatnya.
"Wid, gue cuma engga mau sahabat gue terus di gantungin! Lo juga mau kejelasan dari hubungan lo dan Degan'kan?" jelas Kresna, ia mulai merasa gerah dengan pembicaraan ini.
Widy tampak ingin menyanggah, tapi.. entah kenapa ia justru menatap lekat Kresna. Tatapannya begitu lekat, yang perlahan berubah nanar. Sampai akhirnya, ia memilih untuk mengalihkan pandangannya. Rasa sakit itu kembali hadir secara perlahan.
Jika ia ingat-ingat lagi, apa yang Kresna lakukan bukanlah suatu kesalahan. Satu-satunya si bodoh yang bersalah adalah Widy sendiri. Benar.. itu kesalahannya.
"Gue bodoh ya Kres." Suara Widy terdengar begitu lirih.
Kedua sahabatnya justru saling lirik melirik satu sama lain, tampak berusaha berpikir dan memahami. Kenapa Widy mengatakan dirinya bodoh?
"Harusnya gue bisa lebih sabar sedikit lagi. Degan udah beliin jok itu buat gue-.. dia udah siapin segalanya. Tapi, karena gue selalu menuntut-.. gue rasa dia muak dan akhirnya milih nyerah. Padahal-.."
"Engga sepenuhnya kebodohan lo Wid. Intinya kalian itu sama-sama bodoh!" Jelas Dinar dengan wajah yang kian berubah serius.
"Widy yang engga sabaran, Degan yang engga bisa kasih keputusan dan kepastian." Kresna pun turut menambahkan.
Kepala Widy kian tertunduk, ia menghela nafas kasar dengan kedua mata yang terasa memanas. Perlahan, ia pejamkan kedua matanya guna menghalau liquid bening mendesak keluar.
Ia merasa menyesali kebodohannya di masa lalu, karena tidak bisa mencegah akhir kisah itu. Sebuah kisah, yang dipaksakan berakhir. Kala ia masih ingin terus berlanjut. Mungkin, jika di masa lalu ia bisa berpikir dewasa seperti saat ini, tanpa mendesak Degan. Maka, ia masih bisa meyakini.. jika hubungan mereka, bisa saja masih bertahan dan tidak akan ada kata berakhir.
'Maafin gue Gan.'
&&&
[Flashback]
"Wen, maaf ya gue baru balik. Baru banget sampe rumah"
Widy tersenyum mendengar suara berat Degan yang saat ini melakukan komunikasi via skype, seperti biasa. Ia pun menyanggah sebelah pipinya, memperhatikan Degan yang sibuk dengan handuk di kepalanya.
"Harusnya, lo tuh istirahat Gan. Emangnya, lo engga capek abis lomba 3 hari?" Tanya Widy, sedikit mencibir Degan yang tiba-tiba memintanya mengaktifkan skype.
Degan menggeleng, seraya melingkarkan handuk di lehernya, "Engga tuh, kalau ngobrol sama lo. Capeknya suka ilang Wen."
Laki-laki itu tertawa kala Widy mencibirnya dengan wajah kesal. Mungkin, jika saja mereka tengah berhadapan. Rasa-rasanya, Degan ingin mencubit pipi gembul Sekretaris kelasnya itu.
"Apaan sih Gan? Suka banget ngegombal deh!" Lagi-lagi Widy mencibirnya.
"Siapa yang ngegombal sih Wen? Seriusan nih!" Degan berusaha meyakinkan.
Widy berdecak keras, lalu mengalihkan pandangannya. Terlihat jelas jika ia kehabisan kata-kata mendengar ucapan Degan. Apalagi, laki-laki yang tengah berbincang dengannya, selalu saja menggunakan kata-kata manis selama mereka tidak bertemu.
Namun Widy masih berusaha menampik, mengenai apa yang mungkin sama-sama mereka rasakan. Terlebih, ia dan Degan belum lama saling mengenal. Meski pun mereka berada di kelas yang sama yaitu XI IPA 1. Ada hal lain, yang masih ia pikirkan juga.