"Gila?" Umpat Sarah begitu handphone nya berdenting.
"Kenapa?" Ratu yang tengah memasang masker langsung menghampiri kasur tempat Sarah tertidur. Lalu mereka berdua menatap pesan yang ada di dalam layar handphone tersebut.
"Good Night my future wife, have a good lonely sleep till next month. -Radhya" tapi nama kontak nya "My Future Husband". Ratu langsung menatap Sarah heran.
"Are you serious Sar?" Tanya Ratu.
"Gak! Gila emang nih orang." Sarah menggeleng-gelengkan kepala nya.
"Lah terus gimana cara nya kontak dia bisa punya nama Husband-husband?" Ratu meminta penjelasan. "Arsyen kaya gimana? Udah move on?" Tanya nya bertubi-tubi.
"Enggak ya tuhan!" Elak Sarah masih bingung harus menjelaskan dari mana.
"Tapi gak apa-apa sih Sar! Toh lo juga udah empat tahun terakhir ini ngestalk Dio, your Fake Lautner..." Ucap Ratu di akhiri kekehan. "Lo juga udah lama gak ketemu Arsyen. Kalau beneran nikah, jangan undang Arsyen!" Kini Ratu mewanti-wanti Sarah.
"Ih apaan sih lo!" Sarah memukul bahu Ratu pelan. Drt! Drt! Handphone Sarah bergetar. "Anjir si Dio nelepon!" Ucap Sarah panik sementara Ratu tertawa menatap ekspresi heboh yang Sarah tunjukkan. "Gimana Rat?" Tanya Sarah masih panik.
"Angkat lah!" Perintah Ratu di akhiri kekehan.
"Gak deh!" Sarah langsung menolak telepon tersebut dan mengganti mode handphone nya menjadi Airplane. "Serem."
"Halah! Serem-serem juga besok lo ketemu dia lagi." Ratu melanjutkan aktifitas maskeran nya. Sarah bergidik sekilas lalu memejamkan mata nya. Menyenangkan memang jika mimpi menjadi kenyataan, tapi akan mengejutkan jika mimpi tersebut terwujud dengan begitu cepat nya. Kita memang tak akan mengerti bagaimana semesta mengatur semua sebegitu rumit nya.
-
Aku ibarat tupai yang tersesat di pohon kenari tupai lain nya. Menyesap Hot Coffee Hazelnut di tempat asing sambil menatap manusia-manusia berseragam asing yang terlalu santai. Berbeda dengan setelan jas rapih ku saat masih menjadi guru les. Tepat dua puluh menit sebelum waktu masuk kantor aku masuk ke dalam lift yang penuh sesak oleh orang asing. Ting! Pria itu menatap ku tepat di lantai ke delapan.
"Ke kantor saya!" Tatapan nya intens menangkap mata ku. Setelah itu ia berlalu dengan kebingungan yang tersemat di wajah ku.
Aku tak menuruti perkataan pria tampan yang pada kenyataan nya boss ku sendiri. Aku lebih memilih duduk di kubik ku sambil mengerjakan pengeditan pada naskah Novel yang kemarin Nelin berikan kepada ku. Penulis favorite ku, katanya hari ini aku akan bertemu dengan penulis nya langsung. Dan aku lebih menantikan itu di banding bertemu dengan Fake Lautner favorite ku dulu.
Ah ternyata benar! Bukan hanya benci menjadi cinta, tapi terkadang cinta bisa menjadi benci. Bukti nya aku dengan Aldio? Radhya? Dio? Entah lah. Nama panggilan nya terlalu banyak, apalagi jika di tambah nama panggilan dari ku. Fake Lautner, hahaha!
"Kenapa gak ke kantor saya?" Hawa ruangan berubah semakin dingin saat ia bertanya kepada ku. Mata ku tak lepas dari layar komputer di hadapan ku, aku lebih antusias menatap komputer berlogo apel yang kata nya mahal itu... di banding pria tampan bernilai mahal yang ada di samping ku. Lihat saja jam Rolex nya, pasti sangat mahal. "Kenapa gak ngangkat telepon saya?" Tanya nya lagi. Menurut ku pertanyaan nya jauh lebih menyebalkan daripada pertanyaan yang di ulang tiga kali oleh Dora the Explorer.
"Lo serem tau gak?" Kini aku menatap nya tajam. "Pertama lo musuh gue, kedua lo ngelamar gue, ketiga lo muncul di depan muka gue mulu... gue tuh mau kerja Dio!" Ucap ku geram.
"But yesterday you said Yes!" Elak nya.
"Inget ya Boss Dio! Saya tau banyak novel Chicklit yang masuk ke penerbitan ini, tapi bisa gak? Kita realistis aja, jangan full of fiction kaya gini. Kenal terus nikah gitu aja kaya di novel-novel yang saya edit, gak lucu tau, kaya khayalan nya anak SMA aja!" Dia menaikkan kedua alis nya begitu mendengar ucapan ku.
"Oke! Saya tau kalau hidup saya terlalu fiksi, entah hidup saya yang terlalu fiksi atau kamu yang gak bisa serius. Hidup tuh gak sebercanda itu Sar, ajakan saya yang kemarin itu serius!" Ucap nya tegas. "Kalau kamu masih dendam sama ayah saya, udah lah berhenti... ayah saya udah meninggal." Aku membeku seketika. "Meninggal nya udah lama banget, bahkan alasan saya ada di perusahaan ini sejak SMA adalah karena Ayah, Ibu dan Kakak saya meninggal di penerbangan menuju Jogja. Waktu itu saya lebih menyedihkan, ayah kamu tau diri kalau yang seharus nya jadi pewaris perusahaan saya, berhubung ayah udah gak ada, Opah yang benci banget sama ayah setuju kalau perusahaan kembali di wariskan ke saya. Ahhh... udahlah..." Aku dapat melihat mata nya mulai berair. Pasti hidup nya lebih berat di banding dengan rumah batako di tengah kebun ku. Aku jadi merasa bersalah ketika punggung nya menghilang dari balik pintu ruang editor.
Aku merasa malu hanya sekedar untuk meminta maaf, sudah lima hari batang hidung pria itu tak terlihat, entah kemana? Nelin selalu menemui ku bersama penulis yang tulisan nya sedang aku edit, terkadang aku ingin menanyakan keadaan Dio, tapi aku malu... bahkan Nelin pun tak pernah menyinggung tentang Dio di sela-sela pertemuan kita. Dia sungguh Sekretaris yang Profesional. Sebenarnya aku bisa saja datang ke ruangan nya, toh ruangan kita berada di lantai yang sama. Tapi sekali lagi si malu berteman baik dengan bersalah, aku yang merasa bersalah menjadi malu untuk melakukan itu.
Sore ini aku memilih untuk bersua dengan tumpukan boneka yang ada di toko mainan salah satu Mall yang ada di Kota Bekasi. Aku tak kembali ke Apartemen, kebetulan besok hari Minggu dan Ratu mengajak ku untuk pulang ke Bekasi. Keponakan nya Ulang Tahun yang ke enam, ia harus mencari kado sebuah robot-robotan sebagai hadiah. Aku yang tak memiliki urusan dengan mainan anak laki-laki lebih memilih pisah untuk melihat-lihat sambil menunggu nya.
"Happy Whale..." aku membaca salah satu Tag yang menempel di boneka paus kecil yang sedang tersenyum, ada tulisan lain di tag tersebut yang membuat ku tertarik untuk membaca nya. "Paus yang menari adalah simbol kebahagiaan." Aku tersenyum membayangkan nya. Mungkin karena paus akan menari ketika merasa bahagia? Produsen boneka ini sungguh kreatif.
"Sar!" Aku menolehkan kepala ku menuju sumber suara. "Gue udah dapet nih, bagus gak?" Ratu menunjukkan box berwarna biru dengan robot berwarna merah-biru di dalam nya.
"Bagus kok." Komentar ku.
"Mau beli boneka?" Ratu menatap boneka yang berada di genggaman ku. Entah mengapa pertanyaan tersebut lebih terdengar seperti sebuah ide brilian yang sangat menggoda, kebetulan aku suka dengan boneka ini.
"Iya." Ucap ku singkat.