For Better or Worse

Bentang Pustaka
Chapter #2

Chapter 2

Sore itu cerah. Aku menatap buku pelajaran IPA milik Ernest dengan kening berkerut. Sementara itu, di sampingku, raut wajah Ernest juga sama. Dia sedang serius menulis di buku tulisnya. Keningnya berlipat-lipat seolah ingin menjadikan setiap kata yang ditulisnya adalah sempurna.

“Mam, kalau yang ini, gimana, ya?” Ernest menggeser bukunya untuk menunjukkannya kepadaku. Aku meraihnya dan membacanya sejenak.

“Coba Kakak baca dulu, ya. Gampang, kok,” ujarku setelah selesai membacanya. Aku menyodorkan buku teks itu kembali kepadanya. Aku membiarkan Ernest untuk memikirkan jawaban dari pe-er yang sedang dikerjakannya.

Ernest mengambil buku teks dari tanganku dan membacanya. Tak lama kemudian, senyumnya terbit di wajah mungil itu. Berarti, dia sudah mengerti.

“Gampang, kan?”

Ernest mengangguk. Lalu, dia mulai menulis jawabannya di buku tulisnya. Tiba-tiba Emilia memanggilku dari dalam kamar. Ah, dia sudah bangun tidur. Aku bergegas masuk ke dalam kamar. Senyum malaikat bergigi ompong menyambutku. Tumben amat Si Ompong lucu ini senyum. Dia hampir selalu menangis kalau bangun tidur. Aku ikut tersenyum senang melihat dia menyunggingkan senyum lucu itu.

“Mandi, Mami,” ujar Emilia, sementara tangan gendutnya mengucek-ngucek mata. Eh, tumben amat minta mandi sendiri. Biasanya mesti kejar-kejaran dahulu serta bonus teriak-teriak menolak untuk mandi. Aku semakin senang.

“Emili mandi sama Mbak Nani, ya? Mami lagi bantuan Kakak buat pe-er.”

Emilia merengek, “Emili mau mandi sama Mami!”

Oh, aku tidak jadi senang. Si Nona Keras Kepala ini merengek. Tangisannya pasti akan pecah jika aku menolaknya. Aku menyerah. “Ya, sudah ... yuk, mandi. Bisa, kan, buka bajunya?”

Emilia pun berusaha membuka bajunya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Emilia menjadi pemandangan yang menyenangkan untuk diriku. Pola tingkahnya yang lucu dan serius ketika berusaha untuk membuka bajunya sendiri. Meskipun sempat kesulitan, akhirnya dia berhasil menanggalkan seluruh pakaiannya, baik baju maupun celana. Untuk merayakan keberhasilannya, Emilia menunjukkan kembali gigi ompongnya kepadaku. Tubuhnya yang sudah telanjang bulat berlari lincah seraya memberiku pelukan yang kencang.

“Good job!” Aku memuji Emilia, kemudian mencium pipi gembulnya dan rambut panjangnya yang ikal. Tak lama kemudian, dia sudah menceburkan diri ke dalam bak kesukaannya. Aku sempat terkurung lama di kamar mandi. Memandikannya, sih, tidak membutuhkan waktu yang lama. Yang membuatnya jadi lama adalah karena Emilia suka sekali bermain air. Entah itu bola, gayung, hingga botol, masuk semua ke dalam ember berisi air hangatnya. Aku harus membujuknya berkali-kali untuk berhenti bermain air. Untung saja suasana hati Emilia sedang baik. Dia menurut saja ketika aku menyuruhnya untuk menyudahi acara mandi sambil mainnya itu.

Selesai mandi, Emilia minta bermain sepeda di depan rumah. Aku menemaninya sesaat sebelum meminta Mbak Nani untuk menggantikanku. Aku langsung ngebut membantu Ernest menyelesaikan pe-er-nya yang tinggal sedikit lagi, kemudian menyiapkan diri untuk pergi latihan yoga di rumah Paula.

Aku memang menggemari yoga dan beruntung karena salah seorang sahabatku, Paula, adalah guru yoga. Dia membuka kelas di rumahnya. Salah satu ruangan di rumahnya disulap menjadi studio kecil. Selain di rumah, dia juga mempunyai studio yang lebih besar di daerah Menteng. Aku mengikuti jadwal yoga di rumah Paula karena lebih dekat dari rumahku dibandingkan harus pergi ke Menteng. Dengan begitu, aku tidak harus meninggalkan anak-anak terlalu lama. Cukup dua kali dalam seminggu selama satu jam, stresku berkurang setengahnya.

“Bu, masak nasi lagi nggak, ya?”

Mbak Nani bertanya ketika aku sedang menyempatkan diri untuk membantu Emilia mengeluarkan krayon miliknya. Dia sudah kembali dari halaman, sudah bosan bermain sepeda di luar.

“Masak lagi, deh, Mbak. Bapak sebentar lagi pulang, kok. Oh, ya, jangan lupa nanti jam enam anak-anak makan malam, ya. Ernest tadi sempat makan donat. Jadi, mungkin nanti makan malamnya nggak terlalu banyak.”

“Baik, Bu.”

“Kok, sepi, ya, Pol?” tanyaku begitu masuk ke dalam studio. Tidak ada siapa pun, kecuali Paula sendiri. Musik lembut yang menenangkan mengalun dari tape yang terletak di pojok ruangan. Studio ini berlantai kayu, dinding-dindingnya dilapisi cermin. Aku melirik ke jam dinding berbentuk bulat yang berada di dalam studio. Sudah pukul 4.55 sore.

Paula mengangguk. Dia sedang mengatur matras yoga miliknya di posisi paling depan. Setelah itu, dia melakukan peregangan di depan salah satu cermin.

“Iya, dua orang nggak bisa datang.”

“Oh.”

Aku ikutan berbenah. Aku mengeluarkan matras yoga milikku sendiri serta botol air minum yang sudah terisi penuh. Aku juga merapikan rambutku yang keluar dari ikatannya karena mengganggu wajahku. Aku mengikatnya erat di belakang kepala, lalu melakukan peregangan. Tak lama kemudian, bergabung dua orang lainnya sebelum Paula memulai kelas yoga-nya. Sejenak aku mulai tenggelam dalam gerakan yoga yang dilakukan secara perlahan. I love it and it’s so relaxing.

Tak terasa kelas yoga bimbingan Paula sudah berlangsung selama satu jam. Kedua murid Paula yang lainnya sudah pulang, sementara aku masih bercengkerama bersama Paula.

“Yoyo ke mana, Pol?”

Yoyo atau Yohana adalah anak semata wayang Paula. Biasanya, jika kemari untuk mengikuti kelas yoga, aku melihatnya mondar-mandir atau sekadar duduk nongkrong di belakang ruangan sementara kelas yoga berlangsung. Namun, kali ini dia tidak terlihat sama sekali.

“Ada, tuh, di atas.”

“Tumben nggak kelihatan.”

Paula menggedikkan bahunya. “Paling lagi asyik mantengin videoklipnya Super Junior. Biasa, ABG.”

Aku tertawa. “Idola baru, ya?” tanyaku sambil nyengir.

“Gitu, deh. Wait until Emilia and Ernest become teenagers, Jul. Pusing lo akan beda. It’s about boys, girls, and their idols. Tahu, nggak? Saking seringnya gue dengar tuh lagu-lagu, sekarang kepala gue otomatis mutar lagunya Super Junior. Bahkan, sampai kebawa-bawa mimpi! Ampun, deh!” Paula menggeleng-gelengkan kepala.

Lihat selengkapnya