“Darl, lo lagi di mana?”
Suara yang sedikit serak menyapaku pada pagi menjelang siang. Aku tidak perlu bertanya siapakah yang meneleponku karena hanya Gita yang mempunyai suara seperti itu.
“Lagi di supermarket. Baru aja sampai.”
“Lama, nggak? Kita lagi di Coffee Addict, nih. Nyusul ke sini, dong.”
“Lo sendirian?”
“Sama Paula. Lo juga lagi nungguin Ernest dan Emili, kan?”
Meski tidak terlihat spontan aku mengangguk. “Gue belanja dulu, ya, baru ke sana.”
“Sip. Hurry, ya.”
Acara belanja di supermarket kali ini tidak memakan waktu yang lama. Hanya membeli beberapa keperluan Emilia dan Ernest seperti sabun, sampo, dan tisu. Tak lama kemudian, aku sudah duduk santai bersama Gita dan Paula. Tempat ini menjadi tempat favorit buat kami bertiga untuk menunggu anak-anak pulang sekolah karena jaraknya yang sangat dekat dengan sekolah. Tidak setiap hari, sih, kami berkumpul di sini karena terkadang kami punya kesibukan masing-masing.
Anak-anak kami bersekolah di sekolah yang sama, Sekolah Harapan Kasih. Sementara Mala, yang rumahnya memang cukup jauh dari kami bertiga, menyekolahkan anaknya di sekolah yang lebih dekat dari rumahnya. Dia jarang ngumpul, selain pada hari arisan kami.
“Belanja bulanan dulu?” tanya Gita begitu aku muncul di depan mereka. Dia terlihat begitu asyik mengepulkan asap rokoknya. Aku mengibaskan tangan untuk mengusir asap rokok yang mengepung wajahku.
“Nggak, cuma cari beberapa barang. Sabun sama sampo Emili dan Ernest sudah habis.”
“Emili dan Ernest pulang jam berapa, Jul?” Paula bertanya sembari menyeruput teh dari cangkir lebar berwarna putih.
“Jam dua belas. Kalau Yoyo?”
“Jam dua. Gue, sih, nggak akan ke mana-mana lagi. Langsung pulang.”
“Nggak ngajar ke Menteng?” tanyaku.
Paula menggeleng. “Nope. Besok baru ke Menteng.”
“Donna dan Desi juga pulang jam dua.” Gita menimpali seraya menyebutkan nama kedua anak perempuannya yang juga seumur dengan Yoyo. “Gue bisa, kok, nemenin lo di sini, Pol. Gue juga nggak ada acara.” Gita mematikan puntung rokoknya di asbak berwarna hitam.
Kemudian, aku teringat sesuatu begitu melihat Gita sedang mengoleskan lipstik di bibirnya. “Git, cukurin alis gue, dong ....”
“Sini. Dengan senang hati banget, deh, gue cukurin alis lo.” Dengan sigap Gita mengeluarkan cukuran alis dari sebuah dompet kecil berisi peralatan kosmetik. Dompet itu selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Sambil menggenggam pisau cukur miliknya, Gita pun berpindah tempat ke sampingku.
“Gue juga udah gatal, nih, lihat alis lo,” ujar Gita. Perlahan dia mulai mencukur alisku. “Belajar make-up, dong, Darl. Jadi, kan, nggak usah bergantung sama gue demi mencukur alis lo doang.”
“Sok, deh, lo. Males, ah,” sahutku santai.
“Capek, deh.” Gita menggerutu tanpa menghentikan gerakan tangannya yang luwes. Tak butuh waktu yang lama, dalam sekejap alisku sudah terbentuk dengan rapi.
“Thanks, ya, Git.” Aku puas menatap hasil kreasi Gita. Alisku sudah terbentuk indah menghias wajahku. Jujur saja, untuk urusan alis aku memang menyerahkan sepenuhnya kepada Gita. Buatku, dialah yang paling jago membentuk alis. Bukannya aku tidak pernah mencobanya sendiri. Sudah terlalu sering dan akhirnya aku menyerah karena ketika aku melakukannya, yang ada malah alisku terluka karena tersayat pisaunya. Daripada terluka terus, lebih baik menyerahkan kepada ahlinya.
“Yakin, nih?” Gita terus nyeletuk, “Penawaran gue masih berlaku sampai tahun 2020, loh, buat ngajarin lo make-up.”
Aku tertawa. “Lama amat expired-nya?”
“Gue ngasih lo waktu buat berpikir, tahu.” Gita menggerutu.
Jelas aja Gita sewot. Aku paling malas dandan. Jika aku disandingkan dengan Gita, perbedaannya akan terlihat amat jelas. Bak langit dan bumi. Wajahku yang polos sedikit pucat berbanding terbalik dengan wajah Gita yang full color. Karena itu, meski umur kami sama, nyatanya aku jadi terlihat lebih muda dibandingkan dengan Gita yang sudah seperti tante-tante. Maksudku, dia memang sudah tante-tante, begitu juga aku. Namun, jelas sekali make-up itu bisa menambah umur seseorang dalam waktu singkat.
“Seenggaknya, gue ajarin, deh, pakai eyeliner dan eyeshadow,” bujuk Gita entah untuk kali keberapa ratus.
“Emangnya lo mau buat July jadi kayak ondel-ondel? Aduh, Gita darling, kesian amat, sih, Si July,” sindir Paula.
Gita melirik garang ke Paula, keki dengan ucapan Paula. “Biar cakepan dikit gitu, loh, Pol.”
“Jadi, gue nggak cakep, nih?” Salah satu alisku terangkat mendengar argumen Gita.
Gita bertambah jengkel. Lirikannya bukan ditujukan kepadaku, melainkan lebih kepada Paula. “Lo, sih, Pol! Nggak ada salahnya, kan, kalau July belajar make-up. Yang simpel aja, jangan sampai pucat kayak begini,” jarinya menunjuk ke arah mukaku.
Aku mengangkat bahuku. “Buat gue yang simpel itu bedak sama lipstik, that’s it.”
“Itu terlalu simpel.”
“Cukuplah, Git.”
Gita mengibaskan tangannya. Dia menyerah. Untuk kali kesekian ratus, bujukannya tidak mempan. “Terserah lo, deh.”
Aku meneguk kopiku yang mulai mendingin. Kulirik arloji berwarna putih yang melingkar di pergelangan tanganku, waktu sudah hampir menunjukkan pukul 12.00 siang. Aku pun segera beres-beres.
“Gue cabut dulu. Talk to you guys later, ya.” Aku melambaikan tangan kepada kedua sahabatku.