Pagi sudah menjelang dan matahari sudah keluar dari sarangnya. Sinarnya baru terlihat sedikit, tetapi di sebuah rumah bernomor 18, rumah berwarna putih dengan lis hitam, sudah terdengar keramaian. Atau, lebih tepatnya, kehebohan.
Seorang gadis kecil menangis karena ngompol di ranjang setelah bangun tidur. Tak lama berselang, seorang lelaki kecil berhidung mancung berteriak marah karena kaus kaki kesayangannya yang bergambar karakter film Cars ternyata dicuci. Padahal, dia ingin sekali memakainya hari itu. Belum lagi seorang lelaki dewasa berambut pendek dan rapi ribut mencari dasi keberuntungannya. Dia memiliki bentuk hidung yang mirip dengan anak lelaki pencinta Cars tadi. Kacamatanya terlihat berkilat bening.
“Jul, kamu yakin nggak lihat dasi aku? Dimainin sama Emili, ya?” Dia berseru dengan suara tertelan lemari. Maklum, kepalanya terbenam di antara baju-baju dalam lemari pakaian.
“Mamiii ... aku, kan, udah bilang, kaus kakiku itu jangan dicuci!!!”
“Huaaa!!! Mamiii ... aku basahhh!!”
Seorang perempuan hanya bisa menggelengkan kepala melihat kericuhan yang terjadi di rumahnya. Sebenarnya, dia berparas cantik, tetapi penampilannya pagi ini sama sekali tak ada cantik-cantiknya. Rambutnya tergelung ke atas dan dijepit asal dengan jepitan bebek berwarna hitam. Dua gigi jepitan itu sudah patah. Seorang gadis kecil dengan keingintahuan yang tinggi memainkannya. Dia hanya penasaran, apakah dengan hilangnya beberapa gigi jepitan itu masih bisa menjepit rambut maminya. Untung saja teorinya benar.
Perempuan itu adalah ... aku.
Panggilanku banyak, mulai dari Mami, Mam, July, sampai Babe. Dua panggilan terakhir hanya oleh suamiku, Martin Putra. Morning chaos seperti ini sudah menjadi bagian setia dari setiap pagiku.
“Mamiii!!!” Emilia Putra, gadis kecilku yang baru berumur empat tahun, kembali berteriak sambil menangis. Aku berjalan mendekatinya. Kali ini aku mendelik. Eh, buset, dia sudah telanjang saja. Sepertinya, dia sudah terlebih dahulu berinisiatif membuka sendiri pakaian tidurnya.
Aku menarik napas panjang. Baru juga melangkah hendak menghampirinya, dia malah berteriak kembali. Kali ini si gadis cilik tukang ngoceh itu tidak lagi menangis. Dia menjerit-jerit girang sambil berlari kencang seperti celurut kecil. Ya, ampunnn ... kalau melihat kelakuannya sekarang ini, aku yakin banget bahwa aku sudah mengambil keputusan yang salah dahulu sewaktu hamil Emilia. Dahulu aku ngotot serta merengek ingin makan kepiting. Mau tahu hasilnya? Itu, tuh, yang lagi berlarian tanpa henti mengelilingi ruang keluarga, kemudian berlanjut ke ruang makan, dapur hingga ... buk!
“Huaaa!!! Mamiii! Sakittt!”
Aku menghela napas dan memberikan cengiran yang lebar kepada Martin, yang sedari tadi masih mencari dasi keberuntungan berwarna ungu. Namun, sepertinya dia sudah menemukannya. Dia mengangkat Emilia yang masih terduduk sambil menangis karena tersandung mainannya sendiri.
“Kamu ngapain, sih, telanjang begini, Angel?” tanya Martin kepada anak perempuannya yang selalu dia panggil dengan angel atau malaikat. Karena Emilia adalah anak kesayangan Papi, bisa ditebak bahwa dia langsung gelendotan dengan manjanya sambil merangkul leher papinya dengan erat. Tangisnya usai dan gelitikan Martin membuatnya lupa akan sakitnya. Dia kembali tertawa cekikikan. Gelak tawa serta-merta memenuhi seluruh penjuru rumah.
Martin menyerahkan Emilia kepada ART kami, Mbak Nani, untuk dimandikan. Akhirnya, satu krucil sudah teratasi tanpa perlu mengeluarkan tenaga Rambo. Sekarang tinggal satu lagi. Aku segera mendekati Ernest Putra, anak lelakiku yang berumur delapan tahun. Dia duduk di ranjangnya dengan manyun berat alias ngambek karena kaus kaki kesayangannya ternyata dicuci. Sumpah, aku nggak tahu dan nggak sengaja.
“Kak, pakai yang lain aja, ya. Kan, masih ada yang bagus, tuh,” aku membujuknya.
Ternyata, Ernest masih tetap ngotot ingin memakai kaus kaki tercintanya. “Tapi, aku mau yang Cars, Mamiii .... Yang lain, kan, biasa, polos. Hari ini hari bebas.”
Iya, aku tahu. Rabu adalah hari bebas, anak-anak bisa memakai baju, celana, dan sepatu bebas, termasuk kaus kaki. Aku jadi teringat bahwa aku pernah membelikannya sepasang kaus kaki dan belum pernah digunakan. Buru-buru aku mengambil di laci dan menunjukkannya kepada Ernest.
“Pakai yang ini aja, ya. Bukan gambar Cars, sih, tapi sama kerennya, kok.” Aku menunjukkannya kepada Ernest. Wajahnya masih menunjukkan keraguan. Kemudian, aku berbisik di telinganya, “Mami yakin, belum ada, loh, teman-teman kamu yang punya. Ini model terbaru.”
Bujukanku ternyata berhasil. Ernest langsung tersenyum dan mengambil kaus kaki bergambar karakter Ben Ten dan memakainya dengan bangga. Aku menghela napas lega. Another solution for morning problem. Aku berdiri dan menatap krucil lainnya yang melenggang dengan wajah gembira. Kemudian, aku merasakan pinggangku dipeluk hangat dan pipiku dikecup bibir yang lembut.
“Babe, aku jalan dulu, ya.”
“Oke. Hati-hati, Hon.”
Martin kembali lagi ke dalam karena ponselnya ketinggalan. Dia muncul lagi dari dalam sambil berkata, “Jangan lupa jemput Ernest, ya. Hari ini Emili libur, kan?”
Aku tersenyum dan mengangguk. Aku pun mengantarkan kedua orang yang kusayangi itu untuk berangkat kerja dan sekolah. Aku menunggu sampai mobil yang membawa keduanya menghilang dari pandangan dan ....
“Mamiiii!!!”
Baik tukang sayur maupun tukang roti yang sedang lewat sama-sama menoleh mendengar teriakan superkencang dari suara Emilia. Sumpah, pengin banget, deh, ngumpet di pohon palem depan rumah saking malunya. Aku bergegas masuk dan mencari tahu apa yang diinginkan oleh Emilia kali ini.
“Mamiiii!!!”
Ya ampun, Emilia, suaranya!
“Darl, lo ada di mana, sih? Gue teleponin lo susahnya amit-amit. Gantung, tuh, handphone di leher lain kali. Lo lihat deh, tuh, missed call. Sepuluh biji ada kali.”
Aku tertawa mendengar nyinyiran Gita, Si Mama Funky yang rambutnya berwarna cokelat terang. Sambil mengepit ponsel di antara telinga dan pundak, aku menutup pintu mobilku yang mungil. “Iya, nggak kedengeran Git, sorry.”
Suara Gita terdengar lagi, “Eh, serius, deh. Lo di mana, sih? Kok, gue dengar suara pintu mobil ditutup.”
Dengan sedikit kewalahan, akhirnya aku berhasil mengosongkan mobilku yang berwarna pink itu. “Gue baru sampai rumah, Git. Baru jemput anak-anak. Emili tidur, gue mesti gendong dia.”
“Oh.” Nada suara Gita menurun. “Gue cuma mau mastiin, entar sore jadi, kan?”
“Bentar, Git.” Aku menurunkan ponsel dan mengambil tubuh Emilia yang tertidur lagi begitu aku gendong. Menggendongnya juga nggak mudah karena Emilia berat banget. Kayak menggendong satu galon air.
Setelah sampai di kamar Emilia, aku menaruh ponselku di meja belajar mungil milik Emilia dan berikutnya menaruh Tuan Putri yang masih terlelap itu di ranjang. Dia sempat menggeliat sebelum akhirnya memeluk guling dan mendesah nyaman. Aku menyambar ponselku kembali sambil mengusap kepala Ernest serta menyuruhnya untuk makan siang dahulu.
“Kak, makan dulu, gih. Mbak Nani sudah siapin, tuh. Bentar lagi Mami nyusul.” Ernest pun mengangguk patuh. Begitu Ernest pergi ke meja makan, aku menempelkan kembali ponselku di telinga. Satu tanganku yang bebas membuka kulkas untuk mengambil air dingin dan meneguknya cepat untuk melepas dahaga. Udara panas siang menjelang sore ini benar-benar menggila. Bikin gerah kebangetan.
Setelah semua sudah selesai, aku duduk di teras belakang rumah yang mungil dengan sepetak taman kecil. Aku selalu suka berada di sini, memandangi pohon cemara mungil di pojokan dan hamparan rumput hijau yang bikin adem. Anak-anak juga sering menggunakan halaman mungil ini sebagai tempat bermain mereka.