"Disebelah sana, kamu tinggal lurus nanti ada kamar tulisan Rio. Kamu masuk saja dan pakai toilet di dalam kamar Rio."
"Apa tidak ada toilet biasa untuk tamu ma, saya merasa tidak sopan jika masuk ke kamar kak Rio," ucap Safina dengan ragu.
"Kamu benar-benar anak yang baik, kamu pakai saja toilet yang ada di kamar Rio, ayo mama antar kamu".
Setelah mengantar Safina ke kamar Rio, tiba-tiba mama Rio mendapatkan telepon dari temannya. "Sayang, mama tinggal angkat telepon ya, jika kamu sudah selesai buang air kecil, langsung ke ruang keluarga ya." Dini tersenyum.
"Iya ma," ucap Safina dengan sopan, Safina pergi ke toilet dan setelah buang air kecil. Safina membasuh mukanya dengan air, karena dia merasa mengantuk. Safina keluar dari kamar mandi, dia melihat foto Rio kecil yang tersenyum.
"Kak Rio sangat tampan dan manis sejak kecil," setelah melihat foto Rio, Safina keluar dari kamar Rio. Safina berjalan menuju ruang keluarga, semua orang sedang duduk dan mengobrol, Safina duduk disamping Rio. Semua orang menoleh kearah Safina, semua terkejut melihat wajah Safina yang terluka.
"Sayang pipi kamu kenapa?" tanya Rio khawatir dan memegang pipi Safina
"Pipi?" jawab Safina bingung.
Dini mendekat ke arah Safina, Dini duduk disamping Safina dan menyetuh pipi Safina yang terluka perlahan.
"Aduh," Safina kesakitan.
"Siapa yang menampar kamu hingga seperti ini?" tanya Dini khawatir.
"Tadi aku terpeleset di kamar mandi, mungkin itu sebabnya pipi aku terluka," jawab Safina dengan ragu.
"Jangan berbohong sayang, mama seorang dokter. Mama tahu luka karena ditampar dan memar karena terpeleset." Dini mengusap rambut Safina, Safina terdiam, Safina takut untuk berkata jujur.
"Sayang, kami adalah keluarga kamu. Kamu tidak perlu takut berkata jujur," Dini sedih melihat Safina.
"Sebenarnya, kemarin mama dan papa Ina marah karena Ina diantar kak Rio. Mereka bilang Ina seperti perempuan murahan, lalu mama menampar Ina," ucap Safina sambil menunduk.
"Kasihan sekali kamu sayang," Dini memeluk Safina, Safina membalas pelukan mama Rio. Papa Rio dan Rio merasa sedih dengan kehidupan Safina, dia hidup dengan layak tapi diperlakukan dengan kejam.