"Kamu manis sekali, terima kasih bukunya. Bukunya sangat cantik sama seperti kamu," dokter Tina tersenyum.
"Dokter Tina terlalu berlebihan," Safina tersenyum.
"Tidak Ina sayang, kamu memang sangat cantik. Kamu sekarang tidur ya, istirahat. Kalau begitu saya permisi," dokter Tina tersenyum dan pergi.
"Bi, bantu aku buat video untuk kak Rio ya." Safina tersenyum.
"Baiklah non, apapun keinginan non Ina akan bibi lakukan." Bibi memvideokan Safina.
"Bi aku terlihat cantik kan?"
"Non Ina selalu cantik," bibi tersenyum.
"Bibi selalu seperti itu, bibi hitung satu sampai tiga ya."
"Iya non, non siap ya. Satu, dua, tiga." Bibi mulai memvideokan Safina, selesai membuat video Safina menangis. Bibi memeluk Safina, dan memenangkan Safina.
"Bi, Ina punya hadiah untuk bibi," Safina tersenyum, dia mengambil hadiah yang bertulisan bibi.
"Bibi buka," Safina tersenyum, bibi membuka kotak hadiah. Bibi melihat kalung yang dibeli Safina beberapa hari yang lalu, bibi melihat ke arah Safina.
"Ini untuk bibi non?"
"Iya bi, itu semua untuk bibi." Safina mengambil tasnya, Safina mengambil uang yang tersisa.
"Ini untuk biaya pemakaman aku dan sisanya untuk bibi bertahan hidup setelah aku pergi," Safina tersenyum.
"Tidak non, bibi hanya ingin bersama non, bibi tidak ingin uang ini." Bibi menangis, Safina akan pergi untuk selamanya.
"Bi, Ina tahu bibi sayang sama Ina. Tapi ini sudah takdir Ina, dan terima kasih sudah menjaga Ina." Safina tersenyum, bibi memeluk Safina dengan erat.
"Ina sudah memberikan nama pada kotak hadiah dan surat untuk semuanya, besok berikan saat semua orang tahu Ina sudah pergi ya bi. Ina punya video yang satu untuk kak Rio dan yang satunya untuk kak Samudera, bibi kirim ke handphone kak Samudera saat dia tahu bahwa Safina sudah pergi ya. Bilang ke kak Rio bahwa Ina membuat video untuknya di dalam handphone ina, berikan handphone ini untuk kak Rio." Safina tersenyum, bibi yang mendengar perkataan Safina menangis.
"Non tidak boleh pergi, non harus bertahan. Demi bibi non," bibi memeluk Safina, Safina memeluk bibi dengan erat.
"Kita tidur yuk bi, bibi tidur di samping Ina ya malam ini." Safina menghapus air mata bibi, bibi menuruti keinginan Safina. Bibi memeluk Safina dengan erat, karena bibi takut kehilangan Safina. Safina tidur di pelukan bibi, sementara bibi tidak tidur semalaman karena takut tidak bisa melihat Safina lagi.
Safina bangun pukul tujuh pagi, Safina menulis surat untuk kedua orang tuanya. Jam setengah delapan suster dan dokter Tina masuk ke dalam kamar.
"Ina kamu jangan makan dan minum sampai waktu operasi ya," dokter Tina tersenyum.
"Iya dok," Safina tersenyum.