Riana baru saja sampai di rumah. Ia sedikit mengeluhkan hari ini di mana jalan menjadi sangat ramai. Belum lagi abangnya yang tidak bisa menjemput, membuatnya terpaksa pulang dengan menggunakan bus umum. Yah, sebenarnya Riana tidak masalah. Hanya saja ia sudah terlanjur menunggu terlalu lama tadi. Abangnya itu memberitahukan bahwa ia tak bisa menjemput setelah dirinya hampir satu jam menunggu di depan gerbang. Benar-benar abang sialan. Lihat saja pembalasan Riana nanti.
Tangan Riana terulur membuka pintu utama. Setelah mengucapkan salam, ia segera melepas sepatunya dan berjalan melewati ruang tamu. Namun, tubuhnya membeku begitu melihat ada seseorang yang tengah duduk di sofa ruang tamu. "A-ayah?"
Laki-laki itu menoleh ke asal suara, dan satu detik setelahnya wajahnya mengeras. Matanya menatap tajam Riana yang hanya bisa diam mematung. "Ayah ada perlu apa di sini?"
Wajah seseorang yang dipanggil Ayah itu semakin mengeras. Kedua tangannya terkepal. "Jangan panggil saya Ayah, saya bukan ayah kamu!" Riana yang mendengarnya hanya bisa menundukkan wajah. Riana benar-benar rindu dengan ayahnya. Tapi jika keadaan seperti ini, ia bisa apa?
"Lagipula ini rumah saya, terserah saya mau apa di sini. Dan kenapa kamu muncul di depan muka saya? Sudah lupa dengan ucapan terakhir saya?"
Ucapan bernada dingin itu membuat badan Riana bergetar. Dengan sekuat hati Riana mencoba untuk tidak menahan tangis. Ia selalu mengingat ucapan bundanya untuk jangan terlihat lemah di depan siapapun. "Untuk apa kamu tetap di situ? Cepat pergi dari hadapan saya!"
"T—tapi—"
"SAYA BILANG PERGI!!"
Mendengar bentakan itu membuat Riana segera melangkahkan kaki ke kamarnya. Dengan segera ia membuka pintu kamar dan menutupnya. Hal selanjutnya yang terjadi adalah, Riana mendudukkan dirinya di kasur dan menangis sejadi-jadinya. Riana memukul-mukul dadanya saat rasa sesak dan penyesalan mulai muncul dan memenuhi hatinya. Tangan Riana terulur untuk mengambil pigura yang berisikan foto sang Bunda. Riana menatap foto itu lekat-lekat, berusaha untuk menghilangkan rasa sesak dengan meyakini bahwa bundanya selalu ada untuk menemaninya.
Riana hanya rindu ayahnya yang dulu. Yang akan selalu membantunya mengerjakan tugas, menyambutnya dengan tangan terbuka ketika Riana memiliki banyak masalah, dan orang pertama yang akan menghapus semua air matanya saat ia menangis. Tapi, hal itu hanyalah sebuah angan yang tidak akan pernah terwujud.
Pintu kamar Riana terbuka dengan keras, menampilkan raut wajah Farren yang nampak panik. Dengan segera Farren mendekat dan melihat kondisi Riana, lantas ia bersyukur tidak ada luka satupun di tubuh adiknya itu.
"Shuuttt, enggak apa-apa. Ada abang di sini," ucap Farren berusaha menenangkan Riana sambil memeluknya erat.
"Abang, dada Riana sesek."
"Nangis aja nggak apa-apa, abang bakal temenin Ana, kok."
Masih dengan wajah penuh air mata, Riana mendongak, "ini emang salah gue, kan, Bang?"
Farren menggeleng dengan tegas kemudian mengecup kening Riana dalam-dalam. "Jangan nanya kayak gitu lagi, Na. Kamu itu adik kesayangan abang, dan kamu enggak bersalah sama sekali."
"Tapi—"
"Sekali enggak tetep enggak, Na."
Keadaan hening selama beberapa saat. Farren sibuk mengelus punggung adiknya itu. Sedangkan Riana sendiri berusaha memberhentikan tangisannya. Setelah merasa bahwa tangisan Riana sudah berhenti, Farren menundukkan pandangannya. "Maaf, abang tadi dateng terlambat. Seharusnya abang tadi jemput kamu, biar kamu enggak ketemu sama orang enggak waras itu."