Berjuang itu berat, tapi aku suka.
*****
Riana baru saja memasuki pintu kantin sendirian. Kali ini ia sendiri karena Zoya menolak untuk ikut. Sahabatnya itu bilang bahwa perutnya sedang sakit karena kedatangan tamu bulanan. Dan sebagai sahabat yang baik hati dan sama-sama tahu bagaimana rasa sakit akibat kedatangan tamu, Riana lebih memilih pergi sendiri. Lagipula, ini adalah usahanya dalam mendekati Gilang, dan Zoya tidak ada sangkut pautnya sama sekali.
Riana mengedarkan pandangannya ke seluruh kantin, mencari sosok yang semalam sukses membuatnya kesal setengah mati. "Adanya cuma Kak David sama Kak Malik, nih. Kak Gilang kemana, ya?" tanya Riana retoris. "Hmm, gue samperin aja, lah. Barangkali aja mereka tahu Kak Gilang ada di mana."
"Hai Kak Malik, hai Kak David!!" sapa Riana sambil menyunggingkan senyumnya setelah tiba di meja yang ditempati oleh keduanya.
"Eh, ada Riana. Kenapa? Mau gabung meja?" balas Malik sambil meminum es teh miliknya.
Riana menggeleng pelan. "Enggak, kok, Kak. Btw, kalau boleh tahu, Kak Gilang ada di mana? Tumben enggak bareng," tanya Riana sambil celingak-celinguk. "Dia enggak sembunyi dari gue, kan?"
Suara itu sukses membuat Malik menyemburkan tehnya akibat tersedak. David sendiri langsung tertawa terbahak-bahak, "aneh banget, sih, pertanyaan lo, Na," balas David.
Riana mengerucutkan bibirnya. "Ya, kan, barangkali gitu."
David menggeleng-gelengkan kepalanya. "Si Gilang tadi gue ajak ke kantin, tapi dia enggak mau. Mungkin dia ada di rooftop."
"Rooftop?" beo Riana.
David menaikkan satu alisnya. "Kenapa emangnya?"
Riana mengedipkan mata beberapa saat kemudian terkekeh pelan. "Enggak apa-apa, sih. Cuma, aku kan, masih murid baru. Enggak tahu kalau mau ke rooftop itu lewat mana."
Lagi, David dan Malik tertawa. Riana memang benar-benar lucu. "Lo naik aja ke lantai tiga. Nanti, di deket gudang pojok yang di samping kamar mandi, ada tangga lagi. Kalau lo naik tangga itu, entar juga sampai di rooftop," jelas Malik sambil menggambarkan letaknya dengan tangan di atas meja.
"Ehhh, kamar mandi yang dimaksud Kak Malik itu, yang diapit gudang sama ruang musik lama?" tanya Riana mencoba bertanya lebih detail. "Iya. Emang kenapa?"
"Ehhmm, denger-denger ruang musik itu kan, angker, Kak. Yakin, Kak Gilang beneran ngelewatin ruang itu buat naik ke rooftop?"
Lagi, Malik dan David kembali tertawa. "Lo percaya kalau tempat itu ada penunggunya?"
"Y—ya gue enggak percaya sih, karena belum pernah liat. Tapi kan, serem!"
"Justru karena kebanyakan murid takut lewat situ, tempat itu jadi sepi. Gilang itu suka tempat yang sepi, katanya biar enggak ada yang ganggu," jelas Malik. Mendengar itu, Riana terdiam sesaat. David kini menatap Riana dengan tatapan geli, "jadi, lo mau gimana? Berani nggak, ke rooftop? Ini masih siang hari, kok."
Persetan dengan penunggu dan segala tetek bengeknya, Riana tidak peduli. Ia sudah bersusah payah untuk bangun pagi dan menyiapkan brownis. Tak akan ia biarkan usahanya berakhir sia-sia. "Aku bakalan tetep ke sana. Makasih, Kak, buat informasinya!"
Lantas, Riana segera memutar tubuh dan mulai berjalan meninggalkan kantin. Sebelum Riana benar-benar keluar dari kantin, Malik dan David kembali berteriak, "hati-hati, Na!! Awas diikutin!!"
*****
Setelah berlari kencang melewati ruang musik, kamar mandi, kemudian gudang, Riana segera menapaki tangga tanpa mengurangi kecepatan berlarinya. Walaupun Riana tidak bisa melihat hal-hal aneh, tetap saja ia takut jika harus melewati tempat-tempat angker. Yang benar saja! Riana masih cewek normal, dan dirinya memiliki beberapa hal yang ditakutinya.
Riana menata nafasnya yang berantakan setelah mencapai anak tangga teratas. Riana menoleh ke belakang sebentar, lantas bergidik ngeri kemudian kembali menatap ke depan. Astaga, lorong depan musik tadi belum ada apa-apanya dibandingkan suasana suram di tangga yang saat ini sedang Riana injak. Padahal masih siang hari, tapi suasananya membuat siapapun bergidik ngeri. Pantas saja tidak ada orang yang berani ke sini. Kecuali Gilang tentunya. Ternyata semua yang berhubungan dengan Gilang memang menyeramkan, seperti orangnya.
Riana menggelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran aneh yang mulai bermunculan. Dengan segera Riana mengulurkan tangannya, kemudian membuka handel pintu yang terlihat kusam. Begitu pintu terbuka, apa yang dilihatnya membuat Riana tercenung.
Jika lorong dan tangga yang dilewatinya tadi benar-benar suram dan menyeramkan, maka lain dengan suasana begitu Riana tiba di rooftop. Suasananya tenang, terlebih langit biru dengan hiasan awan membuat tempat ini begitu cerah. Angin berhembus menerpa wajah Riana, membuatnya merasa rileks seketika. Entah pergi ke mana rasa takutnya tadi, Riana juga tidak tahu.
Perlahan, Riana melangkah maju dan menutup pintu sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Rooftop ini lumayan luas, dengan tanaman yang menghias di beberapa sudut. Ada sebuah tempat yang ternaungi atap kayu, dan di bawahnya terdapat beberapa sofa dan satu meja kecil di hadapannya.
Riana mendekat begitu menyadari bahwa Gilang tengah terduduk di sana. Saat sudah sampai tepat di belakangnya, Riana bisa melihat apa yang tengah cowok itu lakukan. Gilang tengah bermain game dengan menggunakan earphone, ternyata. Pantas saja ia tidak menyadari kehadiran Riana di belakangnya.
Seketika, senyum iblis Riana terbit.
Riana menghitung dalam hati. Satu, dua, ti—
"Enggak usah ngagetin gue."
Gilang menoleh dengan tatapan tajamnya, membuat Riana tergagap dengan tangan yang sudah terangkat untuk mengejutkan Gilang tadi. Riana tersenyum canggung kemudian menurunkan tangannya perlahan.