"Lo mau nambah lagi, Na?"
"Pesenin satu mangkok lagi!"
"Tapi, Na—"
"Pokoknya nambah lagi!"
Zoya menghela nafas kasar. Jika mood Riana sudah berantakan seperti ini, Zoya tidak bisa melakukan apapun lagi selain menuruti kemauannya. Dan seperti biasanya, Riana selalu melampiaskan mood buruknya pada ice cream.
Beberapa saat kemudian seorang pelayan mengantarkan pesanan Zoya. Baru saja diletakkan, Riana langsung menyambar mangkuk tersebut dan membuat pelayanan tersebut tebengong heran. Zoya yang melihatnya hanya bisa meringis, "maaf, Mas. Temen saya baru badmood, jadi bawaannya sensi."
Pelayanan tersebut mengangguk maklum sebelum pergi. Zoya memberikan seulas senyuman, "maaf sekali lagi."
Setelah pelayan tersebut pergi, Zoya segera menoleh pada Riana. "Lo malu-maluin gue, tahu, Na!!" teriak Zoya geram, sedangkan yang diomeli hanya diam menikmati icecream-nya. "Lo ada masalah apa sih, sampai mood lo jadi berantakan kaya gini?"
Sendok yang hendak masuk ke dalam mulut Riana terhenti. Ia menatap Zoya dengan pandangan sedih. "Gue makan ati gara-gara omongannya Kak Gilang."
"Hah? Makan ati? Emang Kak Gilang ngomong apaan tadi?"
"Masa nih, ya, Kak Gilang bilang kalau masakan gue itu sampah. Padahal, kan, gue udah susah-susah buatin. Mana bangun pagi buta lagi."
Zoya mengernyitkan dahinya. "Emang lo masak apaan?"
"Brownis," jawab Riana polos.
"Yee, itu mah, lo nya aja yang kepedean kalau hasilnya bakalan enak! Gue akui lo itu emang bisa masak. Tapi, yang lo bisa itu kan, makanan sehari-hari yang pakai nasi. Kalau sejenis brownis, cake, ataupun makanan dessert lain, lo kan nol besar," ucap Zoya panjang lebar. Riana yang mendengarnya sontak mengerucutkan bibir. "Kok lo jadi ngata-ngatain gue, sih?!"
"Gue itu cuma ngasih tau lo biar lain kali enggak usah aneh-aneh buat begituan lagi!"
"Ck, bodo amat, lah! Lo bikin mood gue tambah ancur!!"
"Kok jadi bawa-bawa gue? Kan, lo sendiri yang dari awal pengen banget ngejar-ngejar Kak Gilang buat dapetin hatinya. Sekarang, baru beberapa minggu lho, Na. Lo mau nyerah gitu aja?"
Riana terdiam untuk beberapa saat lantas menggeleng cepat. "Enggak, lah! Masa mau nyerah gitu aja? Enggak-enggak! Big no!!"
"Nah, kalau enggak mau nyerah, ya lo harus kuat-kuatin hati lo. Kalau udah mutusin buat berjuang, ya lo harus siap dengan segala resikonya. Dalam kasus lo, ditolak mentah-mentah misalnya."
Riana mengangguk pelan. Kalau dipikir-pikir, apa yang dikatakan Zoya ada benarnya. "Oke-oke, gue bakal lupain soal masalah hari ini. Gue jamin, besok-besok Kak Gilang pasti bakalan luluh!"
"Nah, gitu, dong! Semangatt!!!"
Riana memeluk sahabatnya itu dari samping. "Makasiiiiiihh banget, Zo! Lo emang sahabat terbaik, deh!"
Zoya membalas pelukan tersebut. "Sama-sama, Na."
Tiba-tiba, Riana teringat sesuatu dan dengan segera melepaskan pelukannya. "Hmm, Zoyaaaaa."
Dahi Zoya kembali berkerut, "kenapa lagi?"
"Ehmm, lo kan sahabat gue, nih. Baik hati, pengertian, enggak sombong lagi," ucap Riana dengan puppy eyes-nya. Zoya yang mendengar pujian-pujian dari Riana langsung memicingkan mata curiga. Seketika, Zoya tersadar kemudian segera berdiri untuk ke luar dari kedai ice cream tersebut. Namun, Riana lebih cepat mencegah Zoya.
"Zoya, gue—"
"Enggak! Gue nggak mau! Gila ya, lo?!"
"Tolongin gue, pleaseeee!!! Dompet gue ketinggalan di rumah, nih. Tolong bayarin ya? Ya ya ya?"
"Riana, lo itu tadi habis empat mangkuk, loh! Mana pakai topping yang enak-enak lagi. Gue bisa bangkrut, tauk!!"
Lagi, Riana memasang puppy eyes-nya. "Kan, gue lupa. Tolong ya, Zo!"
"Dasar sahabat laknattttt!!!"
*****
"Assalamu'alaikum!!! Riana yang paling cantik sedunia udah pulangg!!!" teriak Riana sambil membuka pintu lebar-lebar. Setelah melepas sepatunya, Riana segera berjalan santai menuju ruang tamu. Seingat Riana, hari ini Farren tidak ada kelas. Mungkin, abangnya itu sedang bersantai di ruang tamu.
"Bang Farren, yuhuuuu!!! Adik kesayangan lo udah pulang!!!" teriak Riana sambil memasuki ruang tamu. Farren yang mendengarnya langsung saja memberikan isyarat untuk diam. "Apaan sih, lo, Na? Berisik banget, deh!"