Senin.
Hari yang benar-benar menyebalkan dan Riana benar-benar merutuki hari ini. Karena di hari Senin ia harus bangun lebih pagi dan berangkat lebih awal hanya untuk dipanggang di tengah lapangan.
Sebenarnya Riana tidak masalah dengan upacara, bahkan dengan senang hati melakukannya. Tetapi jika amanat yang disampaikan tidak kalah panjang dengan debat capres cawapres, sudah barang tentu Riana misuh-misuh. Masalahnya, amanat yang disampaikan hanya itu-itu saja dan selalu diulang setiap dua minggu sekali. Jadi, jangan salahkan Riana apabila dirinya marah-marah saat ini.
Setelah upacara selesai, Riana langsung menarik Zoya ke arah kantin. Bahkan Riana tak mengindahkan ucapan Zoya yang mengatakan bahwa bel sebentar lagi akan berbunyi. Riana tak peduli sama sekali. Yang ia pedulikan sekarang hanya menghilangkan rasa hausnya.
Riana melemparkan satu botol teh dingin yang ditangkap sempurna oleh Zoya. "Udah lo bayarin, kan?"
"Udah, lah! Masa gue ngutang?"
Zoya memutar bola mata malas. "Lo lupa kalau pas SMP dulu suka ngutang? Sampai penjual di kantin pada hafal."
Riana hanya cengegesan mendengar fakta tersebut. "Yang penting setiap sebulan sekali gue bayar."
"Terserah lo aja. Balik yuk, udah mau bel, nih!"
Riana mengangguk kemudian menyamakan langkahnya dengan Zoya. "Na, hari ini lo kasih roti isi sama susu kotak ke Kak Gilang kaya biasanya?"
Riana menggeleng. "Semalem gue enggak sempet beli, Zo."
Zoya memicingkan matanya. "Kenapa? Begadang lagi?"
Riana menyunggingkan senyum tanpa dosa, lantas mengangguk. Riana yang melihat Zoya hendak membuka mulut untuk menceramahinya langsung menaikkan sebelah tangannya. "Gue begadang sama Bang Farren. Lo tau lah, kalau begadang sama dia gue enggak dibolehin sampai tengah malem."
Zoya mengangguk paham. "Terus, hari ini lo enggak bakal PDKT sama Kak Gilang?"
"Ya PDKT, dong! Masa enggak, sih?"
"Katanya enggak bawa roti isi sama susu kotak?"
Riana tersenyum. "Gue emang enggak beli. Lagian, PDKT gue kali ini enggak pas jam istirahat, kok."
"Terus kapan? Jangan bilang waktu kegiatan klub?!"
Riana bertepuk tangan. "Hebat banget, lo, bisa tau jalan pikiran gue! Cenayang, ya?"
Zoya memasang wajah kesal. "Cenayang pala lo botak! Gue cuma nebak. Lagipula otak lo pergi ke mana sih, Na? Masa mau PDKT di depan umum?"
"Loh, bukannya selama ini gue PDKT di depan umum, ya? Kan, kantin itu juga tempat umum."
Zoya menatap Riana dengan jengah. Terkadang, bodohnya Riana itu tidak melihat-lihat kondisi. "Maksud gue, lo yakin mau PDKT waktu acara klub? Emang lo enggak malu diliatin anak-anak klub yang lain?"
Riana menggeleng polos. "Kan, urat malu gue emang udah putus dari lama, Zo. Mumpung udah putus juga, jadi gue enggak usah repot-repot mikirin apa kata orang."
Zoya menggeleng mendengar ucapan Riana. Kadang, Riana memang jadi orang yang sulit dipahami pemikirannya. Tapi, Zoya selalu salut dengan keteguhan Riana dalam menggapai apa yang diimpikannya. Mendapatkan hati Gilang, misalnya.
"Ya udahlah, terserah lo aja. Semoga sukses dan nggak makan ati lagi, ya!"
"Zoyaaaa!!"
*****
Bel baru saja berbunyi dan Riana langsung saja berlari ke luar kelas, meninggalkan Zoya yang masih sibuk mencatat materi di papan tulis.
Riana langsung bergegas menuju ruangan klub. Dan saat Riana tiba, belum ada orang yang datang. Bahkan, ruangan klub masih gelap. Karena ruangan klub bahasa Jepang berada di ujung koridor lantai tiga, ruangannya terkesan gelap dan menyeramkan. Terlebih semua gorden di sini ditutup sehingga menghalangi cahaya untuk masuk.
Karena pintu tidak dikunci, Riana berjalan masuk kemudian merapat ke dinding. Tangannya meraba-raba dinding untuk mencari saklar. Belum sempat mencapai saklar, suara benda jatuh membuat Riana terpekik kaget.
"Apaan, tuh?" gumam Riana sambil mengusap-usap dadanya yang berdebar keras. "Ada orang di sini?"
Hening, tidak ada suara lain.
Riana menggeleng begitu pikiran-pikiran aneh merayapi otaknya. "Tenang, Na. Palingan juga cuma tikus lewat."
Baru saja berucap demikian, suara benda jatuh terdengar lagi. Kali ini jeritan Riana bertambah keras. "Siapa, sih?! Jangan jahil, deh!"
Gorden yang semula diam kini mulai berayun-ayun. Walaupun gelap, Riana dapat melihatnya meskipun sekilas dan tidak terlalu jelas. Lagi, suara benda terjatuh membuat Riana terpekik. Riana berjongkok dan menutupi kepalanya, "siapapun lo, tolong berhenti!!"
Kali ini, bunyi benda jatuh tersebut terdengar berdebum. Riana bergidik. Sepertinya yang terjatuh kali ini adalah buku-buku tebal. Riana jadi membayangkan bagaimana jika buku itu terarah padanya. Riana langsung menggeleng-gelengkan kepala, berharap pikirannya tidak menjadi kenyataan.
Klik.
Suara itu membuat Riana refleks mendongak. Lampu sudah menyala, dan tangan seseorang bersender di samping saklar itu. "Kak Gilang?!"
Riana lantas berdiri dengan wajah gugup. Apa Gilang tadi mendengarkan racauan ketakutannya? Jika iya, bisa-bisa Riana malu setengah mati. Tapi, tunggu. Kenapa Gilang berasa di sini?