Seperti hari-hari sebelumnya, Riana kembali mengunjungi kantin. Zoya yang beberapa hari sebelumnya tidak nampak kini memilih untuk mengekori Riana. Riana sempat heran mengapa Zoya memilih untuk ikut. Karena biasanya, Riana akan mendiamkan Zoya begitu sudah melihat Gilang. Tetapi, Zoya tetap bersikeras untuk ikut. Saat ditanya, Zoya justru menjawab, "emang lo doang yang mau PDKT-an?"
Jangan tanyakan ekspresi Riana begitu mendengar ucapan Zoya. Saat itu juga, rahang bawah Riana turun dan mulutnya membentuk huruf O. Riana heran, bahkan sangat-sangat heran. Pasalnya, Zoya selama ini selalu bercerita bahwa ia belum bisa menyembuhkan trauma cinta pertamanya.
Selama menunggu Gilang dan kawan-kawan tiba di kantin, tak henti-hentinya Riana memberondong Zoya dengan berbagai macam pertanyaan. Mumpung mereka sedang berada di pojok kantin, sehingga tidak akan ada yang mencuri dengar. "Zo, lo enggak lagi bercanda, kan?"
Untuk kesekian kalinya, Zoya memutar bola mata. "Enggak Riana!"
Masih tak yakin, Riana kembali memastikan. "Serius?"
"Iya, serius!"
"Bener-bener serius??"
"Astaga!! Gue bilang iya juga daritadi! Lo enggak denger?"
Riana memilih mengabaikan ucapan Zoya dan menatap tajam matanya. "Lo udah sembuh dari trauma cinta pertama lo itu?"
Zoya langsung saja memasang wajah tidak suka. "Ngapain lo bahas itu lagi?"
"Ck, udahlah, jawab aja. Lagian ini yang nanya gue, bukan orang asing."
Zoya menarik nafas panjang. "Ya belum, sih. Cuma, gue mau usaha biar bisa lupain. Masa gue cuma diem aja ngebiarin trauma itu merajalela di pikiran gue?" ucap Zoya retoris. "Enggak mungkin, kan?"
"Yah, bener juga, sih apa kata lo."
"Lagian, masa cuma lo doang yang berjuang? Padahal, selama ini, kan, gue yang selalu bilang ke lo buat enggak nyerah. Enggak lucu, dong, kalau gue justru terus berkubang dalam bayang-bayang masa lalu," ujar Zoya sambil meminum es doger pesanannya.
Lagi, Riana mengangguk setuju. "Gue suka cara pikir lo. Kayaknya, lo dewasa sebelum waktunya, deh!"
Zoya yang mendengarnya sontak melempar buntalan tisu bekas mulutnya tadi. "Ada-ada aja, lo!"
"Zoyaaaa!!! Jijik, ih! Mana bekas mulut lo, lagi!"
"Halah, biasa aja dong, lo! Dasar kutu kupret! Biasanya juga lo gitu ke gue," timpal Zoya tak terima.
Riana mendengus sembari membuang gumpalan tisu tadi pada tempat sampah yang berada di samping meja mereka. "Ngomong-ngomong, lo mau PDKT sama siapa emangnya?"
Zoya menyunggingkan senyum iblisnya. "Siapa hayooo??"
Riana mengedikkan bahu. "Ya gue enggak tahu, lah! Lo kira gue cenayang? Lagian, kasih tahu kenapa, sih? Masa lo main rahasia-rahasiaan sama sahabat sendiri."
Masih dengan senyuman iblisnya, Zoya membuka mulut. "Gimana kalau ternyata gue juga pengen PDKT sama Kak Gilang?"
Pandangan Riana yang sebelumnya tertuju pada pintu masuk kantin langsung terarah pada Zoya begitu Riana mendengar kalimat barusan. Apa tadi? Zoya juga mengincar Kak Gilang?
Masih dengan wajah kaget, Riana membalas ucapan Zoya. "Lo bercanda kan, Zo?"
Kini, giliran Zoya yang mengedikkan bahu. "Entah. Tapi jujur, Kak Gilang itu memang menarik. Dia ganteng, cool, most wanted, tajir, dan pinter. Kurang apa lagi, coba? Dia itu cocok banget masuk list salah satu cowok idaman gue."
"Lo pasti cuma bohong, kan?"
Zoya menggeleng. "Gue serius. Begitu pertama kali ngelihat Kak Gilang, gue langsung tertarik."
Riana menatap tak percaya wajah sahabatnya itu. "Lo nggak bisa gini, dong, Zo! Lo tahu, kan, kalau gue udah suka sama Kak Gilang? Bukan sekedar kagum atau nge-fans lagi!"
Zoya menatap remeh Riana. "Lo bukan siapa-siapanya, kan? Terus, kenapa ngelarang gue? Lo enggak ada hak, Na. Lagipula, posisi lo sama gue itu sama. Sama-sama mengejar hatinya Kak Gilang. Dan bukannya Kak Gilang masih belum notice lo, ya? Itu tandanya, alasan gue mengejar Kak Gilang semakin kuat," jelas Zoya.
Riana tak terima. Ia menepis kasar tangan Zoya yang berada di atas meja. "Lo kok jadi nikung gue sih, Zo?!"
Zoya tertawa. Riana yang mendengarnya tentu saja terkejut. Karena yang barusan bukan tawa biasa. Itu adalah tawa mengejek. Biasanya Zoya akan tertawa seperti itu untuk meremehkan orang yang sudah mengganggunya.
"Apa tadi lo bilang? Nikung?"
Lagi, Zoya tertawa. "Biar gue perjelas lagi, ya, Na. Kak Gilang itu belum notice lo. Bahkan, enggak ada tanda-tanda buat notice lo. Jadi, gue enggak bisa dibilang nikung, dong? Lagian, lo kaya mimpi banget kalau Kak Gilang bakal mau sama lo."
Semua yang dikatakan Zoya seolah menampar Riana. Benar kata Zoya, dirinya bukan siapa-siapa. Riana juga tidak memiliki hak untuk melarang orang lain menyukai Gilang. Zoya juga tidak menikung. Hanya Riana saja yang terlalu pede bahwa suatu hari Gilang akan benar-benar menerima Riana.
Tetapi, yang mengejutkannya bukanlah itu. Riana kaget karena selama ini Zoya memilih diam. Kalau begini ceritanya, apakah hubungannya dengan Zoya akan berakhir begitu saja? Tetapi, Zoya adalah satu-satunya sahabat yang Riana miliki. Dan Zoya sudah ia anggap seperti saudara sendiri.
Suara tawa Zoya mengejutkan Riana. Masih dengan raut bingung bercampur tidak percaya, Riana mendongak.
"Hahahaha, muka lo lucu banget, Na!! Gue enggak kuat liatnya! Hahaha!!!"
Eh?
Apa maksud Zoya?
"Maksud lo apa, sih, Zo?"
"Astaga, Riana! Gue itu cuma bercanda!!"
"H—hah? Bercanda?"
"Iya, lah! Jangan bilang lo nganggep serius? Ternyata lo sama aja kaya dulu. Gampang dikibulin, hahaha!!!"
Lima detik Riana terbengong sebelum akhirnya melemparkan pukulan-pukulannya pada Zoya. "Zoyaaa!!!! Lo resek banget, sih!!!"
"Aduh, duh, Na! Sakit!!"