Suara bel berdenting terdengar, menampakkan seorang yang baru saja memasuki pintu cafe. Gadis berkuncir pony tail tersebut mendekati salah satu meja di ujung dengan raut wajah cemberut dan menahan kesal. Setelah sampai di meja, gadis itu menarik kasar kursi dan mendudukinya dengan kasar pula.
"Enggak bisa pelan-pelan aja?"
Bibir Riana yang sebelumnya sudah maju, kini tambah dimajukan. "Ini salah Kakak juga, tahu! Masa aku di suruh ke sini sendiran?"
Gilang memasang wajah malas. "Gue udah berbaik hati buat ngajarin lo. Kenapa lo jadi ngomel-ngomel? Mau enggak gue bantuin belajarnya?"
Mata Riana melotot. "Enggak boleh gitu, dong! Lagian, Kakak kan, udah bilang mau bantuin kemarin. Enggak bisa seenaknya gitu, dong!" omel Riana.
"Makanya nggak usah ngomel!"
"Ihh! Kan, udah aku bilang. Ini juga—"
"Diem bentar apa susahnya sih, Na?"
Riana menggembungkan pipi kesal. Tadi ia sudah menunggu angkot lumayan lama. Dan setelah menaiki angkot, ternyata angkot tersebut sedang ramai. Mau tak mau Riana harus berdesak-desakan. Ia benar-benar haus dan berniat akan langsung memesan minuma begitu tiba di cafe. Tetapi, setelah sampai di cafe yang didapati justru Gilang memaki-makinya.
Menyebalkan.
Riana melirik gelas Gilang yang masih penuh. Riana tersenyum miring dan dengan secepat kilat Riana menyambar gelas Gilang kemudian meminumnya. Membuat Gilang yang melihatnya hanya bisa mendengus keras-keras
"Ck, dasar bar-bar."
Riana tersenyum lebar begitu selesai menghabiskan minuman milik Gilang. "Hehehe. Maaf ya, Kak. Aku haus banget, soalnya. Kakak pesen lagi aja, ya?"
"Tapi lo yang pesenin. Gue mager."
Riana yang baru saja melahap es batu dari minuman Gilang tadi mengangguk seadanya. "Kakak mau pesen apa?"
"Sama kaya yang lo minum barusan."
Riana mengangguk lantas berlalu untuk memesan minumannya. Tak butuh waktu lama, Riana sudah kembali. "Tunggu bentar ya, Kak. Nanti bakal dianter, kok."
"Hemm. Sekarang, keluarin buku lo."
"Ay ay captain!"
*****
Saat ini Riana tengah asyik dengan buku di hadapannya. Ia tengah membaca sebuah teks singkat dengan huruf hiragana dan beberapa kanji dasar. Tadi, Gilang menyuruhnya untuk membaca sambil menghafalkan kembali kanji dasar. Yah, sebenarnya Riana tidak mengalami kesulitan. Karena jujur saja, pola kalimat dan kanji yang digunakan tidaklah terlalu rumit. Ia sudah hafal.
"Kak, ini udah selesai bacanya."
"Udah ngerti apa maksud dari teksnya?"
Riana mengangguk. "Udah, kok. Isi teksnya ngejelasin soal Mr. Braun sekeluarga yang pindah ke Jepang. Terus, tetangganya nanya alasan kenapa Mr. Braun pindah sekaligus kenalan sama anggota keluarganya."
Gilang mengangguk. "Udah bener. Sekarang, coba kerjain latihannya."
"Asiyaap!"
Riana kembali menarik buku yang tadi sempat disodorkan pada Gilang. Namun, sebelum mengerjakan apa yang tadi diperintahkan Gilang, Riana menarik satu gelas besar yang berisi es batu. Riana mengambilnya dengan sendok, lantas memakannya.
Suara remukan es batu dari mulut Riana membuat konsentrasi Gilang yang tengah membaca komik terganggu. Tadi bersamaan dengan pesanan minuman yang datang, ada segelas besar es batu yang juga diantarkan. Tentu saja Gilang merasa heran, karena ia tidak merasa meminta es batu tambahan. Dan saat ia bertanya pada Riana, gadis itu hanya menyengir lebar. Dengan wajah polosnya Riana menjawab, "itu punya aku, Kak. Buat cemilan."
Gilang menoleh pada Riana yang tengah asyik mencoret-coret bukunya sambil mengunyah es batu. Gilang sebenarnya heran. Apa gigi Riana tidak sakit? "Suara es batu lo berisik!"
Riana seolah tak peduli. Justru dengan sengaja Riana memajukan wajahnya lantas mengunyah es itu keras-keras. Membuat Gilang merasa kian risih. "Berhenti!"
Riana menaikkan satu alis. "Kenapa? Takut aku sakit gigi, ya?"