"Masih sakit?"
Riana mengangguk pelan. Riana kali ini tidak berbohong. Kepalanya memang terasa pening walaupun suara-suara sialan itu hanya tersisa dengungan samar.
"Kak Gilang ada minyak kayu putih?"
Gilang berjalan menuju lemari milik Nara, kemudian mengambil kotak P3K di atasnya.
"Kayaknya di dalem sini ada," ucap Gilang sambil mengais-ngais isi kotak hingga menemukan apa yang dicarinya. Tangan Riana terulur untuk mengambil minyak tersebut dari tangan Gilang. Namun, Gilang justru menjauhkannya.
Dahi Riana mengerut bingung. "Kenapa dijauhin?"
Gilang mendudukkan diri di samping Riana, kemudian menarik bahu gadis itu agar menghadapnya. "Lo diem aja, biar gue yang olesin."
Riana bungkam. Ini serius?
"Mana yang mau diolesin?"
Riana hanya diam menatap mata tajam Gilang. Riana mengerjap seperti orang bodoh begitu Gilang membalas tatapannya. "Na, mana yang mau diolesin?"
"E—eh, Kak Gilang tanya apa?"
Gilang mendengus geli, lantas menjulurkan tangannya yang sudah diolesi minyak ke pelipis Riana. Karena Riana bungkam, maka Gilang berinisiatif sendiri untuk langsung mengolesi pelipis Riana. "Yang sakit di sini bukan?"
Pipi Riana merona merah begitu merasakan jari Gilang mengelus pelan pelipisnya. Tidak perlu waktu lama, rona merah itu menjalar hingga telinganya. Demi apapun! Riana ingin berteriak saat ini saking bahagianya. Riana tidak berharap Gilang akan semanis ini. Kalau seperti ini ceritanya, Riana rela sakit setiap hari.
"Kenapa enggak dijawab? Gue enggak tahu sakitnya di mana."
Riana menggeleng salah tingkah. "Ma—maaf. Kakak udah bener, kok. Yang sakit di sekitar situ."
Gilang mengangguk paham kemudian melanjutkan kegiatan mengolesnya ke sebelah pelipis lainnya. "Kenapa sebelumnya nggak bilang ke gue kalau sakit?"
Riana memejamkan mata. Bagaimana cara menjawabnya? Riana sendiri juga tidak tahu kalau sindromnya akan kambuh tadi. Lagipula, Riana tidak berniat memberitahu Gilang soal penyakitnya karena satu alasan. Riana tidak ingin dikasihani.
"Ehm, i—ini tu, anu—"
"Anu apa?"
Gilang menatap Riana tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Sejujurnya, Gilang hanya ingin Riana jujur.
"Lo ada riwayat penyakit apa memangnya?"
Riana menggeleng. "Aku enggak ada riwayat penyakit apa-apa. Kakak kira aku penyakitan?"
"Kalau enggak ada riwayat sakit, kenapa tiba-tiba lo sakit kepala? Lo kira gue bodoh?"
Kenapa sekarang Gilang justru ngegas?
"Ih! Kakak kepo, deh! Enggak boleh kepo, nanti dosa!"
Hukum dari mana itu? Riana memang aneh!
"Apa jangan-jangan Kakak udah mulai naksir aku, ya?"
Gilang mengembalikan wajah datarnya, lantas menarik tangan yang sebelumnya bertengger di pelipis Riana. Jika sudah kembali seperti ini, Riana jadi terlihat mengesalkan lagi di hadapan Gilang. "Pede lo selangit!"
"Loh, kok jadi nyalahin aku? Kalau nggak naksir, terus kenapa tadi nanya-nanya soal penyakit aku?"
Kali ini, Gilang yang terdiam. Dan itu sukses membuat Riana tersenyum menang. "Nah, kicep, kan?!"
Gilang mendengus kesal kemudian menarik tangan Riana untuk kembali mendekat. "Sebelah mana lagi yang sakit?"
Riana kembali memasang wajah bodoh saking bapernya. Sepertinya Riana memang selalu konslet apabila berada di dekat Gilang. Ternyata dampak Gilang sebesar itu bagi Riana.
"E—eh, di sini," ucap Riana sambil menunjuk di sela-sela kedua alisnya. Tanpa menunggu komando lagi, tangan Gilang sudah kembali memijat kening Riana.
"Kalau lo enggak mau ngasih tau, ya, nggak apa-apa. Gue juga paham kalau lo punya privasi."
Lagi, pipi Riana kembali memerah. Gilang ini apa memang berniat membuatnya baper? Karena saat peduli seperti ini, Riana merasa seperti tengah terbang di antara awan-awan.
Gilang terkekeh kecil. Riana yang melihat dan mendengar kekehan itu merasa terbang semakin tinggi. Ayolah, Gilang dengan muka juteknya sudah cukup membuat Riana ngiler. Apalagi jika terkekeh seperti ini, kadar manisnya seakan bertambah berkali-kali lipat.
"Lo baper ya, gue giniin?"