Setiap orang punya masalahnya masing-masing.
*****
"Buku tulis udah, buku paket udah, alat tulis juga udah lengkap. Oke, sekarang waktunya begadang, Na! Semangat!!"
Dengan semangat yang terkesan sedikit dipaksakan, Riana menyalakan lampu belajarnya. Begitu merasa posisinya sudah nyaman, Riana menarik nafas dalam-dalam, kemudian segera membuka buku paket sejarah di hadapannya. Tentu saja tebal bukunya tidak main-main.
Riana membaca sekilas materi yang hendak dirangkum malam ini. Materi mengenai manusia purba dan juga kebudayaannya. Riana menatap gambar-gambar manusia purba yang tertera, lantas tersenyum miris. "Ternyata manusia zaman dulu jelek-jelek. Untung gue lahirnya sekarang, jadi muka gue enggak jelek-jelek amat."
Sesekali Riana mencomot cemilan yang sebelumnya sudah ia siapkan. Riana memang bukan tipe orang yang bisa diam saja dan fokus belajar. Pasti mulutnya harus mengunyah sesuatu.
Sepuluh menit pertama, Riana terlihat biasa-biasa saja dan menikmati kegiatan merangkumnya. Namun, begitu masuk menit ke dua puluh, Riana mulai mengeluh. Karena semakin lama, buku yang dibacanya semakin mengeluarkan kata-kata aneh. Terlebih nama-nama jenis manusia purba terasa sulit untuk diucapkan, bahkan ditulis.
"Siapa sih, yang ngasih nama? Susah banget tulisannya!" geram Riana.
Tepat pada menit ke tiga puluh, Riana menyerah. Matanya terasa panas membaca buku yang dipenuhi dengan tulisan tanpa gambar itu. "Ck! Gurunya kenapa harus kasih hukuman ngerangkum segala, sih?! Padahal ngejelasinnya aja belum selesai!" omel Riana panjang lebar.
Merasa membutuhkan istirahat sebentar, Riana memilih turun ke dapur untuk membuat es kopi. Membayangkan segelas kopi dingin dengan es batu yang sangat banyak membuat Riana mempercepat langkahnya menuju dapur. Ia sudah tak sabar mengunyah es batu tersebut. Mumpung Farren masih pergi ke rumah temannya juga. Jadi, Riana bisa puas-puas memakan banyak es batu tanpa ada yang melarangnya.
Tidak butuh waktu lama, hanya dengan berbekal kopi instan, air, dan es batu, apa yang diinginkan Riana sudah siap. Riana meneguk ludah susah payah begitu melihat es batu yang tampak bertumpuk di dalam gelas. Dan pada detik selanjutnya, Riana segera membabat habis es kopi tersebut.
Begitu merasakan dingin menenuhi rongga mulutnya, Riana memejamkan matanya. Seketika, rasa kesalnya tadi hilang begitu saja. "Hmm, enak! Es batu memang yang terenak!"
Kegiatan Riana yang sedang asyik-asyiknya terhenti begitu mendengar suara mobil. Seketika, tubuh Riana membeku. Karena seingat Riana, Farren pergi dengan menggunakan sepeda motor, bukannya mobil. Dan jika barusan ada suara mobil, berarti yang pulang adalah—
—ayahnya.
"Mati gue!"
Tentunya Riana masih ingat dengan perintah yang selalu ke luar dari mulut Ayahnya. Perintah yang terasa tidak adil bagi Riana. Yaitu perintah untuk jangan pernah menunjukkan diri di depan sang Ayah lagi.
Alasannya tentu saja mudah ditebak. Karena ayahnya memang membenci Riana.
Lalu, kalau sudah begini, Riana harus apa?
Bi Jum, pembantu yang sudah lama bekerja sejak Riana kecil terlihat memasuki dapur dengan tergopoh-gopoh. "Nduk, Tuan barusan aja dateng!"
Karena sudah lama bekerja, tentunya Bi Jum sudah mengetahui seluk beluk masalah dalam keluarga Riana. Bi Jum juga tahu betul, mengapa tuannya itu jarang pulang dan mengapa ia selalu marah-marah terhadap Riana. "Nduk Ana cepetan masuk kamar aja!"
"Iya, Bi. Ini Ana juga mau ke kamar. Mau beresin gelas bentar."
"Enggak usah, nduk! Biar—"
PRANG!!
Suara pecahan gelas terdengar nyaring. Cairan bewarna coklat kini membasahi lantai.
"Sial!" umpat Riana.
"Udah, Nduk ke kamar aja. Biar Bibi yang beresin."
Belum sempat Riana mengangguk setuju, suara Ayahnya terdengar menggema di dapur. "Bi Jum, suara apa tadi?"
Dengan posisi Riana yang tengah berjongkok di belakang meja makan, saat ini ia bisa melihat jelas sepatu hitam milik ayahnya. Kalau sudah begini, sekalian saja menampakkan diri.
"Anu Tuan, itu tadi—"