Ternyata, memang kamu yang membuatku merasa lebih baik.
*****
"Nduk, Tuan sudah pergi."
Riana hanya diam saja mendengar ucapan Bi Jum. Lagi-lagi ayahnya hanya singgah sebentar kemudian pergi lagi. Entah pergi ke mana, Riana juga tidak tahu. Mungkin pergi ke rumah yang lainnya. Kadang, Riana juga bertanya-tanya. Apa ayahnya singgah hanya untuk sekedar memarahinya?
"Nduk, buka pintunya. Ini Bibi bawain es kopi lho. Es batunya udah Bi Jum banyakin juga."
Riana masih diam saja. Kali ini es batu tidak akan mampu membuat Riana membukakan pintu. Mood-nya sedang memburuk. Jika saja orang yang membawakan es kopi saat ini adalah Farren, mungkin Riana akan membukanya.
"Ini beneran nggak mau? Nduk Ana nggak sayang?"
Persetan dengan es batu dan sejenisnya, Riana benar-benar kehilangan mood. Rasanya Riana ingin berteriak saking frustasinya.
"Bi, emang bener ya, kalau Ana itu anak pembawa sial?" tanya Riana tiba-tiba sambil bersandar pada pintu kamar.
Di luar kamar, Bi Jum tersenyum sedih. Riana yang dulu sudah tidak ada. Riana yang dikenalnya dulu akan selalu tersenyum apapun masalahnya. Bahkan, aura positif Riana dapat membuat orang lain merasa lebih baik.
Seiring dengan berjalannya waktu, Riana sudah berubah. Riana memang tetap tersenyum dan bersikap normal. Namun, Bi Jum tahu, senyum itu bukan senyum yang dulu. Senyum Riana saat ini terlalu sempurna. Seakan ingin memberitahu orang lain bahwa dirinya baik-baik saja.
"Kamu itu bukan anak seperti itu, Nduk."
Di dalam, Riana tersenyum masam. Selama ini, Farren dan semua orang terdekatnya mengatakan bahwa Riana bukanlah anak pembawa sial. Jujur, Riana juga sangat ingin meyakinkan dirinya bahwa ia bukanlah anak seperti itu. Namun, fakta masa lalu selalu menghantui Riana. Membuat rasa bersalah selalu menguasainya.
"Tapi, Ana memang anak pembawa sial, Bi. Kalau bukan karena Ana, pasti kejadian dua tahun lalu nggak bakal kejadian. Kalau bukan gara-gara kesalahan Ana, Ayah juga pasti masih sayang sama Ana sampai sekarang."
Bi Jum membekap mulutnya, menahan agar suara isakannya teredam. "Nduk, enggak boleh bilang kaya gitu."
Satu air mata Riana menetes. Riana mendiamkannya, tidak berniat untuk menghapus. Tidak butuh waktu lama, bulir-bulir yang lain segera menyusul. Mendatangkan rasa sesak yang tadi sempat hilang.
Dalam hati, Riana menyebut kedua orang yang begitu dirindukannya. Andai saja kejadian itu tidak terjadi, semuanya tidak akan seberantakan ini. Andai saja hari itu ia tidak memaksa, semuanya tidak akan membuat Riana merasa tertekan. Terlalu banyak kata andai dalam hidup Riana, dan itu membuatnya frustasi.
Suara isakan pelan terdengar hingga ke luar kamar, dan itu membuat Bi Jum menjadi khawatir. Ia tidak mau Riana melakukan hal nekat. "Nduk, buka pintunya, ya? Biar Bi Jum temenin."
Riana menenggelamkan kepala dan memeluk erat-erat lututnya sendiri. Ia merindukan bundanya. Bunda yang selalu hangat, bunda yang selalu menemaninya jika ia sendiri, dan bunda yang selalu tersenyum lembut untuk menenangkan segala gelisah Riana. Riana juga merindukan separuh dirinya yang lain. Separuh jiwa yang sudah lama pergi.
Riana semakin menangis keras begitu merasakan sesak kian menjalar di hatinya. Hal itu sukses membuat Bi Jum kelimpungan. Dengan secepat yang Bi Jum bisa, ia segera menelepon Farren. Saat ini, hanya Farren yang bisa menenangkan Riana.
"Lo memang anak pembawa sial, Na!"
"Gara-gara lo, semua berantakan!"
"Gara-gara lo, semua orang jadi susah!"
"Dan gara-gara lo, semua orang jadi menjauh!"
Riana meracau tidak jelas sambil berjalan gontai menuju meja belajar. Ditariknya loker paling bawah, lantas mengambil sebuah benda kecil.
Silet.
Tidak, Riana tidak akan melakukan hal konyol seperti bunuh diri. Riana hanya butuh pengalihan.
Biasanya, disaat mentalnya sedang drop seperti ini, Farren akan ada di sampingnya untuk menemani Riana. Farren bahkan tidak akan meninggalkan kamar Riana sama sekali. Yang Farren lakukan hanya memeluk Riana dan menemani hingga Riana jatuh tertidur.
Namun, saat ini abangnya sedang tidak ada. Karena tidak ada Farren yang bisa mengalihkan rasa sesaknya, maka Riana akan mengalihkannya pada hal lain.
Riana tersenyum miris. Dan tanpa berpikir dua kali, ia segera menggoreskan benda tajam itu pada pergelangan tangannya. Rasa perih mulai menjalar. Namun, itu tidak separah rasa sakit serta kekosongan yang melanda hatinya. Dengan segera Riana tambahkan goresan lainnya. Membuat rasa perih semakin terasa. Namun, Riana sedikit bersyukur. Setidaknya rasa sakit ini bisa sedikit mengalihkannya.
"Maaf, Bang, Ana nggak bisa tepatin janji buat nggak nyakitin diri sendiri lagi."
Setelah dirasa cukup, Riana kembali menyimpan benda tajam itu. Dibiarkannya goresan luka tadi mengeluarkan darah. Kemudian, tanpa mengatakan apapun lagi pada Bi Jum yang masih sibuk menggedor pintunya, Riana segera membuka balkon dan melompat menuju cabang pohon di dekatnya. Tidak butuh waktu lama, Riana sudah sampai di luar pagar rumahnya.
Untuk saat ini, Riana pikir jalan-jalan malam akan sedikit membuatnya merasa baikan.
*****
Tanpa menghiraukan panggilan dari Rafa, Gilang segera mengeluarkan motor kemudian memacunya dengan kecepatan tinggi. Tidak dipikirkannya suara motor miliknya yang begitu berisik. Yang jelas, Gilang sedang emosi saat ini.
Gilang tidak habis pikir dengan pikiran Rafa. Selama ini Gilang mengira bahwa Rafa lebih memahami dirinya dibandingkan dengan Clara yang lebih memilih menikah lagi. Gilang pikir, Rafa paham dengan alasannya lebih memilih tinggal dengannya karena tak mampu melihat Clara bersanding dengan pria lain. Gilang pikir, Rafa paham dengan jalan pikirannya.
Ternyata hal tersebut tidak lebih dari spekulasi Gilang sendiri.
Ternyata dirinya selama ini terlalu naif.
Pekikan klakson dari kendaraan lain akibat ulah ugal-ugalan nya tidak dihiraukan Gilang sama sekali. Persetan dengan orang lain. Saat ini Gilang benar-benar merasa kecewa.